Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah aktivis '98 berkumpul untuk merumuskan gugatan kepada negara. Mereka menilai pemerintah tidak menjalankan pemerintahan sesuai arah reformasi yang dicita-citakan 18 tahun silam. Bahkan mereka akan menggugat ke ranah hukum.
"Kalau pemerintah dan elit politik yang lain tidak juga merespons spirit besar reformasi '98 itu, kami bisa saja memperkarakan ini ke ranah hukum," kata Ubedilah Badrun, salah satu aktivis yang hadir dalam pertemuan Refleksi 18 Tahun Reformasi: '98 Menggugat, di Jalan Ampera, Jakarta Selatan, Senin (23/5) malam.
Pasca 18 tahun reformasi, kata Ubedilah, sektor kesejahteraan rakyat justru mengalami stagnasi. Tingkat kemiskinan Indonesia tidak bergeser dari angka 15 persen sejak 1998. Angka pertumbuhan ekonomi juga tidak bertambah di kisaran 5 persen. Sementara utang negara malah bertambah menjadi Rp3200 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ketika 18 tahun, ternyata tidak ada perubahan yang signifikan dari sektor ekonomi. Kami gelisah ada apa dengan Republik ini," katanya.
Di bidang politik, kata Ubedilah, elit politik hanya mempertontonkan semangat yang sifatnya pragmatis dan transaksional. Mereka menilai oligarki politik berkembang dan menguat selama era reformasi.
"Kami menggugat bahwa elit politik tidak serius untuk menangkap pesan besar dari reformasi '98, mereka hanya sibuk dengan kontestasi, merebut kekuasaan, tapi mereka tidak serius memperjuangkan rakyat," ujarnya.
Dosen Sosiologi Politik Universitas Negeri Jakarta ini menilai rezim yang berkuasa dari 1998 hingga 2016 merupakan produk dari sebuah kontestasi politik yang sangat liberalistik, di bawah kendali pemilik modal.
"Kalau mereka serius memperjuangkan rakyat, mereka harusnya fokus bagaimana kebijakan ekonomi itu pro rakyat, bukan pemilik modal," katanya.
Dia menilai perubahan politik yang terjadi selama reformasi sesungguhnya tidak sesuai dengan arah bangsa. Ubedilah menjelaskan, negara ini didirikan untuk mewujudkan empat cita-cita besar, sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
Selain itu dia menambahkan, banyak arah kebijakan negara yang tidak didukung dengan basis ilmiah yang kuat. Karena itu, mereka ikut memberikan kontribusi kemajuan bangsa dalam bentuk produksi karya ilmiah, penelitian, maupun diskusi intensif sesuai bidangnya masing-masing.
"Kami melihat kebijakannya lebih kepada
like and dislike, mengutamakan pemilik modal," katanya.
Mantan aktivis IKIP Jakarta ini khawatir, jika tidak memiliki basis ilmiah yang kuat, negara akan berjalan tanpa arah.
Pertemuan malam itu dihadiri sejumlah mantan aktivis '98 dari berbagai kampus di Jakarta. Mereka kini menempati ruang yang berbeda. Ada pula mantan aktivis yang kini menjadi bakal calon gubernur DKI Jakarta.
(gir)