Jakarta, CNN Indonesia -- Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memerintahkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja selaku tergugat untuk mencabut Surat Keputusan (SK) pemberian izin reklamasi Pulau G untuk PT Muara Wisesa Samudera. Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono meminta Basuki untuk mengikuti putusan hakim menghentikan reklamasi Pulau G.
Menurut Gembong, Ahok bisa dianggap tak menghormati putusan pengadilan jika menjalankan perintah hakim, yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim PTUN Adhi Budi Sulistyo tersebut.
“Putusan hakim berarti perintah hukum. Kalau perintah hukum tidak dijalankan, apakah itu warga negara yang baik? Menurut saya Guberur harus patuh pada putusan hakim,” kata Gembong kepada CNNIndonesia.com, Selasa (31/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gembong menjelaskan, DPRD DKI akan mendesak Ahok, sapaan Basuki, untuk menjalankan perintah hakim PTUN. Saat ini di DPRD, belum ada pembahasan lebih lanjut mengenai status reklamasi 17 pulau di teluk Jakarta.
(Baca:
Indikasi Korupsi Aturan Reklamasi)
“Belum ada pembahasan lagi. Tetapi bagi kami, putusan hakim itu jelas,” ujar Gembong.
Hakim Adhi membacakan putusan dalam sidang terbuka atas gugatan izin reklamasi Pulau G dengan Ahok sebagai tergugat I dan Muara Wisesa sebagai tergugat II intervensi. Ahok digugat lantaran menerbitkan SK Nomor 2238/2014 tentang pemberian izin bagi Muara Wisesa untuk melakukan reklamasi di Pulau G.
Dalam sidang putusan kemarin, para nelayan langsung menyambut ketukan palu hakim itu dengan sorak sorai. Seorang nelayan langsung berlari ke depan meja majelis hakim dan melakukan sujud syukur karena gugatannya dikabulkan. Sementara itu kuasa hukum pihak tergugat langsung keluar dari ruangan sidang tanpa memberikan keterangan apapun.
Hakim Adhi memerintahkan pada tergugat untuk mencabut SK tersebut karena sejumlah pertimbangan, yaitu tidak mencantumkan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam penerbitan izin reklamasi, tidak ada rencana zonasi yang menyebabkan izin reklamasi Pulau G menjadi tidak sah, dan penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang dinilai tidak partisipatif dan justru merusak lingkungan.
(Baca:
Raperda Ditunda Reklamasi Terlunta)
Ketua Bidang Pengembangan Hukum dan Pembelaan Nelayan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Martin Hadiwinata menuturkan, dikabulkannya gugatan ini berarti tidak boleh ada lagi aktivitas reklamasi hingga ada kekuatan hukum tetap. Martin mencanangkan putusan tersebut sebagai hari bersejarah karena menjadi momentum anti reklamasi nasional.
Kebijakan reklamasi di teluk Jakarta sejak awal memang telah menjadi kontroversi. Terutama karena Kementerian Lingkungan Hidup saat itu, kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), tak merekomendasikan pelaksanaan reklamasi tersebut. Kontroversi makin mengemuka setelah Ketua Komisi D DPRD sekaligus Anggota Balegda Mohamad Sanusi ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 31 Maret lalu.
Penangkapan Sanusi disebut KPK terkait dengan pembahasan dua rancangan peraturan daerah (raperda) terkait reklamasi. Kedua raperda tersebut yaitu Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil DKI tahun 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategies Pantai Utara Jakarta.
(rdk)