Jakarta, CNN Indonesia -- Kejaksaan Agung bersikeras tetap mengajukan peninjauan kembali terhadap sejumlah perkara yang telah berkekuatan hukum tetap. Pengajuan itu akan tetap dilakukan meskipun Mahkamah Konstitusi menyatakan jaksa tidak berwenang atas upaya hukum itu.
Jaksa Agung Prasetyo berkata, lembaganya akan mendasari pengajuan PK atas yurisprudensi yang diterbitkan Mahkamah Agung.
"MA sudah memberi akses kepada kami dari putusan yang mereka keluarkan atau yurisprudensi," ucapnya di ruang rapat Komisi III DPR, Jakarta, Senin (6/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Prasetyo, jaksa tetap berhak mengajukan PK karena berstatus sebagai wakil korban kejahatan. "Ke depan kami akan tetap mengajukan PK," tuturnya.
Pada sidang putusan 12 Mei lalu, MK telah menyatakan pasal 263 ayat 1 pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan konstitusi, jika ditafsirkan secara berbeda.
Pasal itu mengatur, terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan PK ke MA.
Menurut hakim konstitusi, pasal 263 ayat 1 KUHAP hanya memberikan hak mengajukan PK kepada terpidana dan ahli warisnya. Jaksa disebut tidak memiliki hak yang sama.
Prasetyo menilai, putusan MK yang bersifat final dan mengikat itu mengandung banyak kelemahan. Menurutnya, jaksa seharusnya tetap diperbolehkan mengajukan PK karena Korps Adhyaksa selalu mewakili korban dalam proses peradilan.
"Kami menginginkan keseimbangan dalam mencari keadilan," kata Prasetyo.
Putusan MK terkait wewenang jaksa dalam mengajukan PK keluar pada sidang uji materi yang diajukan Anna Boentaran, istri terpidana kasus cessie (hak tagih) Bank Bali, Djoko Tjandra.
Djoko, tahun 2009 silam, divonis hukuman dua tahun penjara pada tingkat PK. Hingga tingkat kasasi, Djoko dinyatakan tidak bersalah. Sebelum dieksekusi Kejaksaan Agung, Djoko melarikan diri. Kini ia diduga sejumlah pihak berada di Papua Nugini.
(abm)