Jakarta, CNN Indonesia -- Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menjadi saksi di Mahkamah Konstitusi bagi pemohon gugatan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pengalihan wewenang penyelenggaraan pendidikan kepada pemerintah provinsi, Rabu (8/6).
Kepada hakim konstitusi, Risma memohon agar kewenangan mengelola pendidikan tingkat menengah di Surabaya diserahkan kepada pemerintah setempat.
Risma mengklaim, selama ini Pemerintah Kota Surabaya telah berkontribusi banyak bagi pendidikan di level SMA dan SMK. "Harapan saya pengelolaan bisa tetap di Surabaya sehingga kami bisa menangani anak-anak secara komprehensif," ujar Risma.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Risma menceritakan pengalamannya saat masih menjadi Ketua Badan Perencanaan Pembangunan kota Surabaya. Saat itu dia menerima banyak pengaduan dari warga yang tak mampu membiayai sekolah anaknya.
Salah satu dari orang tua murid itu, kata Risma, tidak mampu membayar tagihan sekolah sebesar Rp900 ribu. Padahal, nominal itu harus lunas sebagai syarat mengikuti ujian di sekolah.
Belakangan Risma mengetahui, ternyata tagihan itu bukan untuk biaya sekolah, melainkan sebagai biaya kursus dan rekreasi. Risma kemudian mengaku sebagai wali murid dan membayar tagihan tersebut.
"Dari situ saya melihat ada ketidakadilan bagi orang miskin. Setelah jadi wali kota saya bilang ke sekolah, saya akan penuhi berapa pun biaya pendidikan asal sekolah gratis," tegasnya.
Risma pun membandingkan anggaran pendidikan menengah di Surabaya dan Provinsi Jawa Timur secara keseluruhan. Ia berkata, Surabaya mengalokasikan Rp700 miliar, sementara Pemprov Jawa Timur hanya Rp400 miliar. "Ini bukan menyangkut uang tapi komitmen," ucapnya.
Saksi ahli Haryono berpendapat, apabila pemerintah kota atau kabupaten memang tidak mampu mengelola penyelenggaraan pendidikan di wilayahnya, barulah kewenangan itu dialihkan ke pemprov.
Menurutnya, pengaturan itu semestinya dituangkan dalam revisi beleid tentang pengalihan wewenang penyelenggaraan pendidikan kepada pemerintah provinsi. Hal tersebut, kata Haryono, dilakukan pemerintah Italia.
"Ini bisa menjadi contoh dan pertimbangan untuk aturan di Indonesia. Tapi jangan diterapkan secara simetris karena tidak setiap kota bisa seperti itu," jelas Haryono.
Pasal 15 ayat 1 dan ayat 2 pada UU 23/2014 mengatur, kewenangan pengelolaan pendidikan menengah dari pemerintah kabupaten/kota dialihkan ke pemerintah provinsi.
Merujuk pada aturan itu, pemerintah kabupaten/kota tak dapat lagi menetapkan kebijakan terkait pendidikan menengah, termasuk sekolah gratis.
Uji UU 23/2014 diajukan empat wali murid di Surabaya. Mereka menilai, pasal tersebut berpotensi menghilangkan jaminan warga negara untuk mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dijamin konstitusi.
(abm)