Jakarta, CNN Indonesia -- Panitia Khusus (Pansus) DPR RI untuk Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti teror mengatakan adanya ketidakkonsistenan dalam tubuh Datasemen Khusus (Densus) 88 dalam menetapkan isi Undang-Undang Antiteror.
Menurut Muhammad Syafii, Ketua Pansus RUU Anti-teror, dua orang anggota Densus yakni Kombespol Faisal dan Imam Sugandi yang menghadiri rapat dengar RUU tersebut tidak memiliki kapabilitas yang baik. Mereka (dua anggota densus) dinilai masih kurang paham dengan maksud perancangan kembali undang-undang anti-teror.
"Dua orang ini kapabilitasnya kurang. Ga konsisten. Kita gebrak dikit langsung berubah jawabanya," Kata Syafii kepada CNNindonesia.com, Rabu (14/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, menurut Syafii penggunaan lafadz keagamaan yang digunakan sebagai lambang anti-teror oleh anggota Densus 88 justru malah akan membentuk citra publik terhadap para pelaku teroris tersebut.
"Ga konsisten. Bilangnya itu (teroris) kaum yg ga paham. Tapi sendirinya malah bikin lambang agama. Itukan malah bikin opini negatif publik" kata Syaifii yang menyuruh dengan tegas kepada Densus untuk mengganti lambang tersebut.
Tidak hanya itu, pihak Densus juga memaksa agar memasukan pasal yang mengatakan agar langsung menangkap masyarakat atau kelompok masyarakat yang mengadakan pertemuan atau kegiatan yang menurutnya (anggota densus 88) mendekati tindak tanduk terorisme.
Dengan tegas, Syafii menolak usulan tersebut karena dianggap terlalu radikal. Menurutnya kegiatan yang dianggap membahayakan itu belum tentu sama pendapatnya dengan orang lain.
"Itu kan pandangan mereka, tiap orang kan beda. Nanti ada yang ngaji sedikit langsung diringkus. Repot" katanya.
Panggil Ditjen ImigrasiPemerintah dan DPR sebelumnya sepakat untuk merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Salah satu tujuannya untuk memudahkan aparat penegak hukum melakukan upaya preventif pencegahan terorisme.
Selain itu karena banyaknya Substansi Undang-Undang yang dianggap kontroversial antara lain Pasal 43 A dan Pasal 43 B, sehingga pemerintah mendorong untuk evaluasi kembali aturan yang tercantum dalam Undang-Undang Antiteror tersebut.
Selain anggota Densus, dalam rapat dengar kali ini Pansus juga mengundang Direktorat Jendral Imigrasi Ronny Sompie untuk membahas Border Security System yang diajukan oleh Ditjen Imigrasi sebagai salah satu penanggulangan terorisme di Indonesia.
Border Security System sendiri merupakan Pengabungan dari tiga lembaga negara untuk memerangi tindak pidana terorisme. Tiga lembaga tersebut yaitu Ditjen Imigrasi, Bea Cukai dan Badan Intelejen negara.
Penggabungan untuk memudahkan proses evakuasi dalam kasus terorisme yang terjadi di Indonesia
"Untuk memudahkan penanganan. Agar tidak menumpuk. Selama ini kan alasanya karena bukan wewenang satu lembaga" kata Ronny.
Menurutnya pembagian tugas tersebut cukup menyulitkan dalam proses evakuasi aksi teror. Perlunya penggabungan tersebut agar tidak ada penumpukan wewenang antar lembaga.
"Jadi ga usah nunggu orang Bea Cukai dulu, atau nunggu pihak Intelejen dulu. Semuanya punya wewenang yang sama disini (memberantas terorisme)" katanya.
Pansus juga mengingatkan kepada pihak imigrasi untuk memperluas kantornya hingga ke pelosok-pelosok daerah di Indonesia. Menurutnya di beberapa tempat sangat disayangkan banyak masyarakat yang justru tidak mampu berbahasa Indonesia dan ini mudah sekali di susupi virus-virus terorisme
Untuk itu badan imigrasi meminta penambahan personil dan anggaran untuk menjalankan tugas tersebut. Saat ini Imigrasi sendiri memiliki sedikitnya delapan ribu jumlah personil yang tersebar di beberapa wilayah indonesia, sedangkan untuk memenuhi kapasitas yang dianjurkan oleh Pansus, Imigrasi sedikitnya harus memiliki 10 ribu personil untuk kemudian disebar di seluruh wilayah Indonesia.
Revisi UU Anti-Terorisme sendiri muncul pasca serangan teroris di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat. Pemerintah merasa pencegahan aksi terorisme terhalang UU yang ada saat ini. Untuk mencegah kembali terjadi serangan kelompok teroris, pemerintah mendorong revisi segera dirampungkan.
(pit)