Jakarta, CNN Indonesia -- Di dalam dunia militer ada kenaikan pangkat yang diberikan sesudah yang bersangkutan meninggal. Prajurit yang meninggal dan dianggap berjasa, dia dinaikkan pangkatnya.
Kolonel meninggal, karena berjasa dinaikkan menjadi jenderal, namanya jadi jenderal anumerta.
Sementara itu di dalam masyarakat, yang namanya kyai sesungguhnya orang yang memenuhi sejumlah persyaratan yang tidak mudah. Titel kyai tidak sembarangan diberikan kepada orang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ada syarat yang cukup berat, di samping dia harus merupakan orang yang memiliki pengetahuan luas dan dalam, dia juga harus merupakan orang dengan perilaku yang patut diteladani, konsisten, dan memiliki jasa bagi masyarakat sekitar.
Maka biasanya, yang diberi julukan kyai oleh masyarakat kampung adalah orang yang memiliki pesantren, yang punya kegiatan majelis taklim, mengajar banyak orang, dan kalangan luas. Sementara guru-guru di madrasah misalnya, mereka biasanya belum dianggap memenuhi syarat untuk dipanggil kyai.
Di kampung saya, ada madrasah sekolah agama sore hari yang pengajarnya tidak dipanggil kyai, tetapi “hanya” ustaz karena dianggap guru rendahan. Di sekolah itu ada guru namanya Pak Nasikun.
Dia belum dipanggil kyai karena tidak punya pesantren dan ilmunya tidak terlalu tinggi, meski sangat berdedikasi dalam mengajar murid. Di madrasah di tepi pantai itu, jam pelajaran dibagi menjadi dua.
Satu jam pelajaran, dilanjutkan istirahat, lalu satu jam lagi pelajaran. Pada waktu istirahat, biasanya anak murid menyebar di pantai hingga ada tempat pelelangan ikan yang tidak terlalu jauh.
Para siswa biasanya main sampai ke sana untuk menonton pelelangan ikan-ikan besar. Sehingga setiap kali habis istirahat—ini yang luar biasa dari Pak Nasikun, dia mau berkeliling sepanjang pantai dari madrasah hingga ke tempat pelelangan ikan untuk mencari siswa yang masih bermain untuk diajak kembali ke madrasah dan masuk kelas lagi.
Saat berkeliling, ada siswa yang masih berkeliaran, “Ayo, balik masuk kelas.”
Ketika sudah masuk kelas, semua murid sudah duduk, Pak Nasikun memerintahkan untuk mengeluarkan buku. Tetapi ada seorang siswa yang diam saja, tidak mengeluarkan buku seperti yang lain.
Pak Nasikun bertanya, “Mana bukumu?”
Sang murid menjawab, “Saya tidak bawa, Pak.”
“Lho sekolah kok enggak bawa buku, bagaimana?”
“Saya kan enggak sekolah di sini, Pak.”
Pak Nasikun bertanya lagi, “Lho kamu engak sekolah di sini kok ikut duduk di sini?”
Si siswa menjawab, “Ya kan bapak yang membawa saya dari pantai ke sini.”
Ternyata Pak Nasikun mengajak anak yang salah, anak itu bukan pelajar madrasah tetapi ikut dibawa ke sekolah.
Berselang waktu kemudian, orang-orang menyadari bahwa banyak murid Pak Nasikun yang menjadi orang-orang besar, muridnya sudah punya pesantren sendiri, punya madrasah, hingga menjadi kyai.
Sehingga setelah Pak Nasikun wafat, orang-orang tidak berani menyebut namanya tanpa embel-embel kyai. Kyai Nasikun, Kyai Anumerta.