Jakarta, CNN Indonesia -- Tak semua para jawara atau ahli bermain silat Betawi bergabung dengan organisasi masyarakat dan turun ke jalanan. Banyak jago silat atau maen pukulan memilih menggunakan ilmunya di jalur olahraga dan kebudayaan.
Guru Perguruan Silat Mustika Kwitang, Zakaria, 86, ketika masa remaja tekun berlatih maen pukulan. Dia belajar maen pukulan dari kakeknya, H Muhammad Zaelani, pendiri aliran Mustika Kwitang, pada masa penjajahan. Ketika itu, latihan maen pukulan secara sembunyi-sembunyi di malam hari.
“Para penjajah menganggap setiap warga Betawi yang menguasai bela diri adalah pemberontak. Apabila ketahuan bisa ditangkap,” kata Zakaria kepada CNNIndonesia.com, pertengahan Juni lalu.
Berkat ketekunannya dia mendapat kesempatan beranjangsana ke banyak kota menunjukkan keahliannya. Pada saat Zakaria berusia 18 tahun, dia pertama kalinya tampil dalam perhelatan Pekan Olahraga Nasional (PON) perdana di Solo, Jawa Tengah pada September 1948.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Kala itu, pencak silat bukan merupakan bagian lomba, hanya pertunjukkan saja,” kata Zakaria.
Dua tahun sejak pertunjukannya, Zakaria dan sejumlah pesilat lainnya diundang oleh Presiden Soekarno untuk tampil di Istana Negara. Selanjutnya, Zakaria berturut-turut tampil di PON ketiga dan keempat.
“Saat PON ketiga pencak silat sudah menjadi lomba. Alhamdulillah saya juara satu. Setelah itu saya ikut PON di Makassar tahun 1957 dan menang juara satu,” ujarnya.
PON ketiga dan keempat ini digelar saat situasi Negara dalam keadaan genting. Saat dia ke Sumatera sedang terjadi peristiwa pemberontakan Perjuangan Rakyat Semesta.
“Saya dilempari batu, tidur di sekolahan dengan tikar, makan seadanya. Malam kami saling berjaga,” ujarnya.
Hal yang sama ketika berada di Makassar, stadium tempat pertandingan dilempari granat.
Setelah beberapakali memenangi lomba silat, pamor Zakaria naik hingga mendapat tawaran melatih pasukan gabungan pengamanan Presiden di era Soekarno, yaitu Resimen Cakrabirawa.
Permintaan disampaikan oleh Kolonel TNI Harun, usai Zakaria mengikuti PON kelima pada Oktober 1961 di Bandung.
"Saat diminta mengajari silat Cakrabirawa, saya langsung terima," ujarnya.
Namun, tak berselang lama dari pertemuan itu, Kolonel Harun pergi menuju Amerika Serikat untuk menempuh pendidikan. Belakangan, Zakaria batal sebagai pelatih Cakrabirawa dan diminta melatih Resimen Para Komando Angkatan Darat di perbatasan Indonesia dengan Malaysia.
Belum sempat Zakaria berangkat ke perbatasan untuk melatih pasukan, peristiwa Gerakan September Tiga Puluh 1965 meledak. Latihan pun batal.
"Saat Gestapu terjadi, militer fokus ke keamanan. Makanya kami semua batal melatih," ujar Zakaria.
Pasca tragedi 1965, Zakaria berlanjut mengembangkan silat Mustika Kwitang. Dia pun membangun jaringan dengan komunitas ilmu bela diri internasional. Zakaria beberapa kali diundang sebagai tamu dalam penghelatan pencak silat yang diadakan di Inggris, Perancis dan Malaysia.
 Babe Sanusi, guru silat Betawi. (CNN Indonesia/Gilang Fauzi) |
Koreografer Film LagaJago silat asal Sawah Besar, Sanusi alias Babe Uci, 85, menjadi koreografer atau pelatih pemain film laga. Pertama kali Babe Uci menjadi koreografer film Djampang Mentjari Naga Hitam pada 1969.
“Film ini laris, meledak. Ternyata banyak yang respon, Indonesia kok masih ada silatnya,” kata Babe Uci kepada CNNIndonesia.com, pertengahan Juni lalu.
Film itu antara lain dibintangi Sukarno M Noor, WD Mochtar, Moch Mochtar, HIM Damsyik, Wolly Sutinah, dan Nani Widjaja.
 Djampang Mentjari Naga Hitam (1968) Sukarno M Noor-Mansjur S. (Dok. dev2.pnri.go.id0) |
Setelah film Djampang Mentjari Naga Hitam, Babe Uci menjadi koreografer untuk 28 film lainnya. Beberapa film laga yang ditanganinya di antaranya Sipitung 1 –4, Si Bonhkok, Laki-laki Pilihan, Panji Tengkorak,Selimut Malam, Sangkuriang, Tangkuban perahu, dan Nyai Dasimah.
“Saya terjun ke dunia itu karena saya suka, sekaligus mikir bagaimana supaya budaya kita ini tidak terpendam di kampung saja,” kata Babe Uci.
Sebelum menjadi koreografer, babe Uci belajar silat dari Guru Silat Mursadi, aliran gerak cepat. Namun, dia juga belajar silat aliran lain yang ada di Betawi,
sekitar 100 perguruan silat dia datangi.
Tidak hanya menyambangi kampung-kampung di seputar Jakarta, seperti Kwitang, Rawa Belong, Menteng Dalam, dan Pasar Minggu, tetapi mereka juga ke kota lain seperti Bekasi, Bogor, dan Garut. Babe Uci menemukan sekitar 300 aliran silat di Jakarta.
Babe Uci mendirikan perguruan Silat Pusaka Djakarta yang beraliran gerak cepat pada 1957. Sudah sekitar enam ribu murid yang pernah belar dari perguruannya.
Menurut Babe Uci, maen pukulan harus dibarengi akhlak yang baik.
“Silat itu bukan hanya tontonan, tapi juga tuntunan,” kata Babe Uci.
(yul/yul)