Jakarta, CNN Indonesia -- Tak ada kesan sangar atau galak dari sosok Bahyudin, 53, saat disambangi di kediamannya di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, awal Juni lalu. Kopiah putih dikenakannya, dengan tasbih kayu menggantung di lehernya. Dua titik hitam terlihat jelas di keningnya, konon sebagai petanda kerap bersujud.
Bahyudin yang berkulit gelap memembuatnya mendapat julukan Haji Black, sudah 10-12 tahun menjabat Ketua Umum Kembang Latar, organisasi masyarakat Betawi besar di kawasan Jakarta Selatan, Tangerang Selatan, Depok hingga Parung. Ormas ini disebut menguasai jasa pengamanan sejumlah pusat perbelanjaan di wilayah selatan, termasuk proyek Mass Rapid Transit (MRT) di kawasan bekas Stadion dan Terminal Lebak Bulus.
Kembang Latar merupakan ormas yang didirikan oleh para jawara yang ada di Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi. Para jawara yang tergabung dalam Paguyuban Mix 21 itu mendirikan ormas itu pada 1991.
Bahyudin adalah salah satu tokoh jawara Betawi masa kini. Namun, dia tak terang-terangan mau dianggap sebagai jawara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Kalau sekarang mungkin disebutnya tokoh masyarakat, mungkin karena saya sering menolong orang,” katanya kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (4/6).
Semasa muda, ia pernah beberapa kali keluar masuk penjara. Ia hanya tersenyum saat ditanya apakah dipenjara karena kasus kekerasan. “Namanya anak muda,” katanya.
Ilmu pukul jika tak dibarengi salat jadi hampa, enggak sinergi.Haji Black |
Bahyudin mengklaim tidak pernah membunuh orang. Bukan soal takut, tapi ajaran agama menurutnya melarang keras menghilangnya nyawa manusia.
“Enggak boleh sama Allah,” ujarnya.
Bahyudin muda, beberapa kali membacok lawan, itupun karena untuk membela diri. Sebagai seorang jawara, pria kelahiran Lebak Bulus ini menguasai jurus silat dan memiliki senjata golok.
Bahyudin mengatakan, Golok miliknya terbuat dari baja khusus dan dibuat oleh pengrajin golok di Cibatu. Karena terbuat dari baja, golok miliknya bisa memutuskan paku sekalipun. Namun Bahyudin enggan menunjukan senjatanya itu. “Bukan untuk dipamerkan,” katanya.
Bagi Bahyudin, goloknya bukan hanya sebagai senjata. Golok kesayangannya adalah gegaman atau ‘berjodoh” dengan seorang jawara. Sebuah golok jika sudah menjadi gegaman, akan menjadi semacama peredam emosi.
“Kalau (golok) pas, ada orang marah juga enggak bakal dicabut,” katanya.
Sementara untuk jurus silat yang dikuasai Bahyudin adalah Jurus Jalan Enam. Jurus silat ini merupakan khas Kembang Latar, ormas yang dipimpinnya.
Namun Jalan Enam adalah jurus yang biasa dipamerkan dalam sebuah acara sebagai salah satu seni bela diri. Untuk membela diri dalam arti sebenarnya, Bahyudin mengaku menguasai Silat Paham. “Masih satu pohon dengan Jalan Enam, tapi ini bukan untuk dipamerkan,” katanya.
Bahyudin mewarisi maen pukulan atau bela diri khas Betawi dari orang tuanya. Hal serupa juga akan diwariskan pada tiga anak lelakinya. Sejauh ini, kata Bahyudin, tiga putranya tidak menolak jika diminta latihan silat dan belajar agama.
Bahyudin membantah anggapan bahwa jawara identik dengan preman yang kerap terlibat aksi kekerasan. Menurutnya tak sembarangan orang pantas menyandang predikat jawara..
Menurut Bahyudin, jawara Betawi sejak dulu terkenal dengan sifat bandelnya. Oleh karena itu jawara Betawi juga mengangkat senjata melawan Belanda.
Namun ia menegaskan, meski bandel, jawara Betawi tetap akan menjalankan ajaran agama Islam. Jika memang ada orang Betawi yang maen pukulan, tapi tidak sembahyang, orang itu tidak pantas disebut jawara.
“Ilmu pukul jika tak dibarengi salat jadi hampa, enggak sinergi,” katanya.
Di Kembang Latar, Bahyudin memimpin ribuan orang. Ormas ini dia akui memiliki jasa pengadaan tenaga keamanan untuk proyek konstruksi ataupun pusat perbelanjaan. Namun semua dilakukan secara profesional dengan sistem outsourcing.
Menurut Bahyudin, Kembang Latar tak melulu soal pengamanan proyek atau pusat perbelanjaan. Ormas yang berdiri tahun 1991 ini juga mengembangkan seni dan kebudayaan Betawi serta rutin menggelar pengajian.
(sur/yul)