Hukuman Bagi Koruptor Tak Timbulkan Efek Jera

Priska Sari Pratiwi | CNN Indonesia
Sabtu, 25 Jun 2016 06:36 WIB
Sistem yang ada saat ini membuat sejumlah perkara berat mendapatkan vonis ringan sehingga menjadi celah hakim untuk menerima suap.
Pengunjung mengamati papan koruptor (cut board) bergambar koruptor Angelina Sondakh dan Akil Mochtar di Museum Nasional, Jakarta. Papan karikatur para koruptor ini dipajang dalam rangka peringatan Hari Antikorupsi yang diselenggarakan Indonesia Corruption Watch dengan maksud agar masyarakat Indonesia terutama generasi muda mengenal wajah-wajah yang telah merampas uang negara. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Minimnya hukuman bagi pelaku korupsi dianggap tak menimbulkan efek jera. Hal ini terjadi lantaran sistem pengambilan putusan hakim di Indonesia yang masih berpatokan pada batasan minimal dan maksimal hukuman tanpa mempertimbangkan penyebabnya.

Calon hakim ad hoc tipikor di Mahkamah Agung Prayitno Iman Santoso mengatakan, sistem itu yang membuat sejumlah perkara berat mendapatkan vonis ringan sehingga menjadi celah hakim untuk menerima suap.

Dia mencontohkan tidak adanya perbedaan hukuman bagi orang yang melakukan korupsi sebesar Rp2 juta dengan Rp2 miliar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini karena hakim di Indonesia masih menerapkan sistem monoistis yang artinya kewenangan mutlak ada pada hakim. Tidak memikirkan pertimbangannya apa," ujar Prayitno usai mengikuti seleksi di Gedung Komisi Yudisial, Jakarta, Jumat (24/6).

Mestinya, kata dia, hakim menggunakan model putusan dualistis yang mengedepankan pertimbangan objektif  terhadap sebuah perkara.

Dengan model putusan tersebut, menurutnya, hakim bisa mempertimbangkan dengan membagi kesalahan terpidana menjadi empat kategori yakni ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Cara ini bisa menjadi panduan bagi hakim dalam memutus perkara sesuai tindakan pelaku.

"Misal hukuman pencuri sandal kan tidak sama dengan pencuri sapi meski sama-sama mencuri. Itu yang mestinya jadi pertimbangan," katanya.

Prayitno adalah satu dari empat calon hakim ad hoc tipikor yang mengikuti seleksi wawancara terbuka dari KY. Seleksi wawancara juga telah dilakukan pada 15 calon hakim agung lainnya sejak 20 Juni lalu. Para calon hakim ditanya soal pengetahuan peradilan, harta kekayaan, hingga pandangan mengenai hakim bermasalah.

Sebelumnya, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Azyumardi juga mengkritik minimnya hukuman yang selama ini dijatuhkan hakim ad hoc tipikor pada pelaku korupsi. Dia menyebutkan bahwa hakim ad hoc tipikor rata-rata hanya menjatuhkan vonis dua sampai empat tahun pada pelaku korupsi.

"Kalau misal korupsi Rp2 miliar cuma dihukum dua tahun ya malah untung. Apalagi kalau ada remisi, jadi harus dihukum seberat-beratnya," ucapnya. (pit)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER