Penyiksaan Masih Jadi Bagian Penegakan Hukum Pidana

CNN Indonesia
Sabtu, 25 Jun 2016 13:33 WIB
Sampai dengan saat ini pemerintah Indonesia bahkan lalai melaporkan situasi dan perkembangan pencegahan penyiksaan di Indonesia ke forum PBB.
Ilustrasi penyiksaan. (Thinkstock/lofilolo)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah Indonesia dinilai telah gagal mencegah dan menangani kasus-kasus penyiksaan, termasuk melemahnya sistem hukum melawan praktik penyiksaan. Kondisi tersebut terus terjadi setelah 18 tahun pasca ratifikasi konvensi anti penyiksaan pada 1998.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan pada 26 Juni besok, masyarakat internasional akan menyambut kembali hari anti penyiksaan se-dunia. Indonesia yang telah menjadi bagian dari komunitas dunia sejak meratifikasi konvensi anti penyiksaan pada 1998 juga telah berkomitmen untuk turut serta dalam memerangi praktek penyiksaan. “Tapi sepanjang setelah 18 tahun pasca ratifikasi, Indonesia belum berhasil secara memadai memperbaiki dan menekan secara minimal praktik-praktik penyiksaan,” kata Supriyadi dalam keterangannya yang diterima CNNIndonesia.com, Sabtu (25/6).

Berdasarkan Konvensi Anti Penyiksaan disebutkan bahwa Penyiksaan adalah “…setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, yang dengan sengaja dilakukan pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga…”

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Oleh karena itu ICJR menegaskan bahwa praktik penyiksaan sebagai teknik untuk mengumpulkan bukti atau alat bukti merupakan salah satu perbuatan yang dilarang berdasarkan hukum internasional maupun nasional,” tutur Supriyadi.


Supriyadi menyatakan ICJR sebagai organisasi yang menaruh perhatian pada upaya penghentian dan penghilangan praktik penyiksaan di Indonesia, sejak 2014 telah melakukan pemutakhiran tahunan atas situasi umum penyiksaan Indonesia.

“Pada 2016 ini, hasil update menunjukkan bahwa Indonesia tidak berhasil melakukan pencegahan dan penanganan atas kasus-kasus penyiksaan, termasuk lemahnya sistem hukum melawan praktik penyiksaan,” ujarnya.


Menurut dia sampai dengan saat ini pemerintah Indonesia bahkan lalai melaporkan situasi dan perkembangan pencegahan penyiksaan di Indonesia ke forum PBB yang jatuh tempo sejak 2011. Komite Anti Penyiksaan di PBB sudah sejak lama mengeluarkan permintaan untuk Indonesia agar memenuhi kewajibannya untuk melaporkan situasi  penyiksaan di Indonesia kepada Komite Anti penyiksaan PBB.

Supriyadi berpendapat kegagalan Indonesia melakukan pencegahan dan penanganan terhadap kasus penyiksaan terkait dengan tidak adanya data resmi dari komisi atau lembaga yang secara konsisten memonitoring kasus-kasus penyiksaan. “Komnas HAM termasuk salah satu lembaga yang memiliki mandat namun telah gagal memberikan laporan periodiknya yang konsisten  atas kasus penyiksaan di Indonesia,” ucap dia.


Adapun terkait penyiksaan dalam hukuman mati, ICJR mendorong moratorium atas hukuman mati di Indonesia. “Praktik hukuman mati ini telah mendorong death row phenomenon karena panjangnya deret  waktu tunggu eksekusi terpidana mati, yang bahkan mencapai 16 tahun. Lamanya waktu tunggu ini telah menimbulkan situasi penyiksaan bagi terpidana mati,” ujarnya.

Pelapor khusus PBB tentang penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang, Juan Mendez, dalam laporan pada 2012 menyatakan hukuman mati haruslah dilihat dalam bingkai martabat manusia dan larangan terhadap penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang. Secara praktik, hukuman mati mengakibatkan penyiksaan dan tindakan sewenang-wenang terkait dengan fenomena masa tunggu eksekusi atau death row phenomenon dan metode eksekusi yang mengakibatkan tersiksa dan tidak manusiawi.


ICJR menyebutkan setidaknya dalam rezim Presiden Joko Widodo, eksekusi mati telah menyisakan permasalahan serius terkait kondisi ini. Pada dua eksekusi terakhir, rata-rata masa tunggu mencapai 10 Tahun 6 bulan, dengan waktu tunggu paling lama mencapai 16 tahun. Waktu tunggu yang begitu lama ini, di satu sisi menunjukkan bahwa para terpidana sesungguhnya sudah mendapatkan hukuman penjara yang tidak sedikit, dengan begitu, terpidana mendapatkan dua kali hukuman yaitu penjara dan pidana mati.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER