WAWANCARA KHUSUS

Arief Hidayat, Sosok Sentral Kembalikan Ketajaman MK

Priska Sari Pratiwi | CNN Indonesia
Sabtu, 25 Jun 2016 10:46 WIB
Kepercayaan masyarakat turun di titik terendah, saat Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap. Kini, tugas berat diemban Arief demi MK yang kembali bertaji.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) terpilih Arief Hidayat (kiri) dan Wakil Ketua MK terpilih Anwar Usman berjabat tangan usai pengucapan sumpah jabatan di Gedung MK, Jakarta, Rabu, 14 Januari 2015. (CNN Indonesia/Arief Hidayat)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sosok Arief Hidayat mencuat ketika dipercaya menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2015-2017 menggantikan Hamdan Zoelva. Arief mengawali kariernya sebagai seorang dosen Fakultas Hukum di Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.

Mendapat gelar sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro pada 1980. Kemudian melanjutkan pendidikan S2 pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Airlangga di 1984. Ia berhasil meraih gelar doktor saat melanjutkan pendidikan S3 pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro pada tahun 2006.

Meski tak berasal dari orang tua yang berlatar belakang hukum, istri hingga lima anaknya ternyata mengikuti jejak Arief mempelajari bidang hukum. Tak jarang kondisi hukum di Indonesia saat ini menjadi hal yang sering didiskusikan Arief bersama keluarganya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menjadi hakim konstitusi tak lantas membuat pria kelahiran 3 Februari 1956 ini berhenti belajar. Setiap hari Arief mesti membaca banyak buku untuk menyiapkan draft putusan hingga membuat opini hukum. Menurutnya, aktivitas ini tak jauh berbeda dengan pekerjaannya sebagai dosen.

Seperti apa MK di bawah kepemimpinan Arief? Ditemui di ruang kerjanya di Gedung MK, Jakarta Pusat, Arief menjawab sejumlah pertanyaan Priska Sari Pratiwi jurnalis CNNIndonesia.com. Berikut kutipan wawancaranya;

Bagaimana kondisi MK dulu dan sekarang usai kasus suap yang melibatkan Akil Mohtar?

Kepercayaan publik pada MK saat itu yang semula di angka 70 persen dari responden turun di angka terendah 15 persen. Dan itu sungguh menghancurkan atau membuat terpuruk MK. Tapi syukur alhamdulillah setelah Pak Akil, itu dipimpin Pak Hamdan Zoelva bersama kita semua mampu rebound. Kami mampu menyelesaikan perkara pileg dan pilpres pada waktu itu. Pileg yang tekanannya begitu berat secara psikologis karena berhadapan head to head antara Pak Prabowo dengan Pak Jokowi yang kemudian oleh mahkamah berdasarkan data dan keyakinan seluruh hakim memang dimenangkan Pak Jokowi.

Apa strategi Anda meningkatkan kinerja MK ke depan?

Sesuai visi misi MK kita bertujuan meningkatkan kualitas putusan MK. Untuk bisa meningkatkan kualitas putusan maka kita ada upaya yang dilakukan. Upayanya adalah hakim harus bisa memperluas pemahaman, memperdalam kompetensi dengan adanya  studi, mengirim ke luar negeri. Contoh waktu mengadili pilkada kita mempersiapkan betul-betul, jangan sampai ada hal-hal yang bersifat negatif.

Bagaimana Anda menyikapi maraknya hakim bermasalah saat ini?

Saya tidak bisa komentar. Kalau hakim itu mestinya menjalankan selurus-lurusnya, hakim bertanggung jawab pada nusa dan bangsa, kalau horizontal ke rakyat. Tapi jadi hakim yang paling utama itu tanggung jawab secara vertikal pada Tuhan yang maha kuasa. Saya juga sangat berhati-hati dalam bergaul. Kalau menangani pilkada ya membuka diri kemudian kita dihubung-hubungi itu sangat berbahaya. Sehingga khusus dalam hal kalau ada perkara pilkada pileg kita harus ekstra hati-hati.

Perkara apa yang paling banyak masuk ke MK?

Kalau tahun 2015 ada sekitar 130-140 perkara per tahun. Kebanyakan UU yang menyangkut politik, tenaga kerja, UU sumber daya air, sumber daya alam, perkebunan, itu yang paling banyak. Kalau 2016 tentang pilkada yang paling banyak. Kalau UU pilkada lama biasanya masalah pencalonan gimana, keabsahannya gimana, pembatasan pasal 158 itu bagaimana, kemudian yang menyangkut calon tunggal, calonnya cuma satu itu gimana. Sekitar ada 50 perkara tahun 2016 ini.

 Apa pengalaman menarik Anda dalam menangani perkara di MK?

Hampir semua perkara menarik untuk dipelajari. Tapi kalau secara pribadi uji materi di konstitusi itu menarik karena sifatnya akademis. Tapi kalau pilkada itu hal yang praksis. Menurut saya itu enggak bikin nambah pinter. Karena yang dibahas semua kepentingan-kepentingan praksis, cuma nambah capek. Apalagi jadi ketua MK lebih stres. Bebannya lebih berat, tanggung jawab tidak ke diri kita sendiri tapi juga menjaga lembaga ini sebaik-baiknya selurus-lurusnya.

Kalau untuk pencabutan TAP MPR siapa yang berwenang?

Kalau menurut saya MK kewenangannya hanya menguji UU terhadap UUD. Padahal tata aturan perundangan itu setelah UUD adalah TAP MPR baru UU. Dalam hal ini menurut saya yang bisa cabut adalah yang membuat sendiri. Yang membuat adalah MPR, yang mencabut ya MPR. Kau yang memulai kau yang mengakhiri. Ya masuk tugasnya, berhak kok, bisa mencabut sendiri. Kalau MK tidak punya kewenangan untuk uji materi terhadap TAP MPR.

MK terkena pemotongan anggaran sekitar Rp26 miliar atau 9,98 persen dari total pagu anggaran sebesar Rp288,3 miliar. Apakah berdampak pada kinerja MK?

Kalau dampak pasti ada, tapi kita lakukan penghematan. Saya enggak tahu persis alokasinya untuk apa karena itu urusan sekjen karena hakim di MK tidak urusi duit. Tapi ya kita legowo karena itu kan kepentingan bangsa dan negara, kita berhemat. Misalnya kegiatan tetap dilakukan tapi dengan suasana lebih sederhana. Bisa dengan mengurangi perjalanan luar negeri yang biasanya 2 kali sekarang 1 kali sudah cukup. Saya kan sekarang presiden asosiasi MK se- Asia. Itu harus ada perjalanan ke luar negeri. Yang penting menyelenggarkan sidang tetap jalan itu jangan dikurangi.

Apa yang akan Anda lakukan jika sudah tidak menjabat sebagai Ketua MK?

Saya jadi guru besar, ngajar lagi di UNDIP. Pangkat saya sudah tinggi. Ibaratnya kalau di tentara sudah jenderal bintang 4. Usia saya sekarang 60 tahun masih punya waktu 10 tahun lagi untuk pensiun jadi guru besarS (pit)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER