Jakarta, CNN Indonesia -- Peran
Justice Collaborator (JC) atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum dianggap penting untuk membongkar kejahatan. Namun pada kenyataannya, kondisi saksi pembocor saat ini belum seperti yang diharapkan.
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai mengatakan, ada perbedaan penafsiran aturan yang dipahami aparat penegak hukum dalam menetapkan status JC.
Padahal dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban diatur jelas kriteria JC serta hak-hak yang berhak diperoleh JC.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 juga telah diatur tentang perlakuan bagi
whistleblower dan JC dalam tindak pidana tertentu.
"Peran JC penting untuk membongkar kejahatan-kejahatan terorganisasi, termasuk korupsi. Hanya saja menjadi JC memang tidak mudah karena risikonya tinggi termasuk ancaman terhadap keselamatan," kata Semendawai di Kantor LPSK, Cijantung, Jakarta, Rabu (29/6).
Ancaman ini di antaranya adalah mutasi atau kehilangan pekerjaan karena kesaksian yang diberikan dianggap merugikan pimpinan mereka. Bahkan beberapa JC yang ditangani LPSK, mengalami kendala dalam upaya pemenuhan perlakuan khusus atau pemberian penghargaan.
Salah satunya adalah Kosasih Abbas, terpidana kasus korupsi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Semendawai menyatakan bahwa berkas yang bersangkutan menjadi satu dengan berkas pelaku utama sehingga membuat hukumannya diperberat. Pengajuan JC Kosasih pun ditolak hakim.
Hukuman Kosasih juga diperberat dengan kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp2 miliar. Namun karena tidak sanggup membayar, penetapan JC yang bersangkutan terancam batal.
"Akibatnya LPSK kesulitan melakukan perlindungan pada hak-hak JC," ucapnya.
Kemudian yang terjadi beberapa waktu lalu adalah penolakan status JC yang diajukan terdakwa kasus suap anggota Komisi V DPR Damayanti yakni Abdul Khoir.
Ketua majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Mien Trisnawati menjatuhkan vonis empat tahun penjara dan denda Rp200 juta bagi Abdul. Hukuman ini lebih berat dari tuntutan jaksa yakni 2,5 tahun penjara.
Hal ini dikhawatirkan membuat pelaku kejahatan lainnya akan berhitung untung dan rugi menjadi JC. Akibatnya aparat penegak hukum akan kesulitan membongkar kejahatan tersebut.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menuturkan, ekspektasi pelaku kejahatan menjadi JC adalah untuk mendapatkan perlindungan maksimal. Namun, menurutnya, akan sama saja apabila seorang pelaku kejahatan tetap dihukum berat meski telah mengajukan diri sebagai JC.
Dari ratusan tersangka yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi, lanjutnya, salah satu peluang untuk meringankan hukuman bagi mereka adalah hanya dengan menjadi JC. Namun hal ini sangat tergantung pada kesamaan cara pandang penegak hukum terhadap status JC.
"JC juga tetap harus mengikuti proses persidangan. Nanti ketahuan seperti apa perbedaan cara pandang antara penyidik, jaksa, dan hakim terhadap status JC," kata Emerson.
(sur/sur)