Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat, selama Januari hingga Mei 2016, pemerintah daerah merupakan pihak yang paling banyak diadukan masyarakat soal dugaan pelanggaran HAM, khususnya hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Jumlah pengaduan sebanyak 18 kasus.
Peringkat berikutnya disusul pengaduan terhadap kelompok masyarakat sebanyak enam pengaduan, dan organisasi lima pengaduan. Selebihnya terdistribusi kepada berbagai pihak.
"Jumlah pengaduan tertinggi terkait pelarangan pendirian rumah ibadah sebanyak sebelas pengaduan," kata Koordinator Desk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Komnas HAM Jayadi Damanik saat menyampaikan laporan tiga bulanan desk KBB April-Juni 2016 di kantor Komnas HAM, Jakarta, Kamis (30/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengaduan berikutnya terkait pelarangan aktivitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia sebanyak delapan pengaduan, perusakan rumah ibadah dua pengaduan, penutupan dan penyegelan pondok pesantren, pelarangan aktivitas Syiah, dan sengketa kepengurusan masjid.
Selama Januari hingga Mei 2016, Komnas HAM telah menerima 34 pengaduan dugaan pelanggaran HAM, khususnya hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Sebaran wilayah kejadian tertinggi berada di Jawa Barat dengan enam pengaduan, disusul DKI Jakarta lima pengaduan, Aceh dan Bangka Belitung empat pengaduan, Sulawesi Utara tiga pengaduan, dan selebihnya tersebar di berbagai wilayah lain di Indonesia.
Berdasarkan data pengaduan 2014 hingga 2016, pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan meningkat tiap tahun. Pada 2014, jumlah pengaduan terkait dugaan pelanggaran HAM atas hak kebebasan beragama dan berkeyakinan sebanyak 74 pengaduan, pada 2015 terdapat 89 pengaduan, dan sepanjang 2016 hingga Mei terdapat 34 pengaduan.
"Kemungkinan akan terus meningkat hingga akhir tahun 2016 mendatang," kata Jayadi.
Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat mengatakan pemerintah daerah perlu mendapatkan pendamping secara kontinyu dan lebih intensif untuk menyelesaikan persoalan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dihadapi.
Menurutnya, pemerintah daerah memerlukan penjelasan dan pemahaman yang tepat tentang norma, hak asasi manusia dan perundangan yang mengatur soal kebebasan beragama dan berkeyakinan.
"Seringkali ketidakmengertian membuat mereka kebingungan menentukan langkah," Imdadun.
Karena itu, kata dia, konsultasi menjadi sangat strategis. Mereka akan lebih percaya diri untuk ambil keputusan bahwa apa yang dilakukan itu benar dan tidak khawatir disalahkan di mata publik dan di ranah hukum.
Imdadun juga menilai pendampingan oleh Komnas HAM dan kelompok toleran penting dilakukan untuk menumbuhkan kepercayaan diri pemerintah daerah ketika berhadapan dengan tekanan dari kelompok intoleran.
"Biasanya kelompok intoleran mendapat dukungan politis dari kelompok atau institusi politik di tingkat lokal," kata Imdadun.
Sepanjang April hingga Juni 2016, Komnas HAM merilis sebelas kasus dugaan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Kasus itu antara lain Musala Assyafiiyah di Denpasar, Aceh Singkil, JAI Kendal, JAI Subang, temuan pemerasan terhadap gereja-gereja di Jawa Barat, tempat pesujudan sapta darma di Rembang, enam gereja di Kota Bandung, permasalahan pengungsi Syiah Sampang, pengungsi JAI di NTB, penyelesaian permasalahan GKI Yasmin di Bogor, dan GPDI Sumedang.
(pit)