Jakarta, CNN Indonesia -- Lebaran identik dengan berkumpul bersama keluarga di kampung halaman. Namun karena alasan pekerjaan, banyak yang tak bisa merayakan hari kemenangan jauh dari keluarga. Salah satunya adalah para buruh migran yang mencari nafkah di negeri orang.
Namun meski jauh dari kampung halaman dan sanak keluarga, Lebaran tetap harus dirayakan bersama handai tolan sesama perantauan.
Sukaryadi, Tahun Ketiga Lebaran di Korea Selatan Sukaryadi menyisir rambut, kemudian membenahi kerah bajunya. Ia bersiap untuk melaksanakan salat ied di Masjid Shirathal Mustaqim yang terletak di Ansan, Provinsi Gyeonggi, Korea Selatan. Masjid yang dikelola oleh komunitas muslim Indonesia itu hanya berjarak 10 menit berjalan kaki dari rumah kontrakannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena Hari Raya Idul Fitri tahun 2015 bertepatan dengan hari Rabu, 17 Juli, maka sekira pukul 07.30 pagi jalanan sudah dipenuhi warga Ansan yang berlalu-lalang untuk berangkat bekerja. Tentu tak seperti pemandangan jalanan yang lengang di Ibu Kota Jakarta kala memperingati hari besar keagamaan Islam itu.
Lebaran 2015 menjadi tahun kedua Sukaryadi tidak mudik ke Tulungagung, Jawa Timur. Ia tiba di Negeri Ginseng pada 23 April 2014 dan semenjak saat itu belum pernah kembali ke daerah asalnya hingga sekarang.
"Maka, Lebaran tahun ini (2016) jadi kali ketiga saya tidak pulang ke Tulungagung," ujar Sukaryadi kepada CNNIndonesia.com.
Pria kelahiran 17 Oktober 1974 itu mengaku ada dua alasan mengapa ia tidak bisa mudik setiap tahunnya. Ia menjelaskan, ada perjanjian kerja yang mengikatnya selama bekerja di perusahaan perakitan gardu listrik bernama Geumseong Jeogi itu. Sedangkan cuti tiap tahun tidak disebutkan dalam kontrak kerja tersebut.
"Saya terikat izin tinggal tiga tahun, plus setahun 10 bulan. Jadi untuk cuti itu tidak ada aturan dalam perjanjian kontraknya. Jika ingin cuti, itu hanya kebijakan pabrik. Kalau pabrik mengizinkan ya boleh, kalau tidak menginzinkan ya tidak boleh. Apalagi kalau musim panas begini pekerjaan di pabrik sedang ramai-ramainya," katanya.
Selain persoalan kontrak kerja tersebut, Sukaryadi mengaku sampai saat ini belum berani mengajukan cuti kepada perusahaannya karena merasa uang yang ditabungnya masih belum cukup banyak untuk dibawa pulang ke kampung.
"Saya kan bekerja untuk mengumpulkan duit, jadi ya terkait masalah ekonomi. Karena kalau pulang itu harus beli tiket sendiri. Kalau Lebaran kan harus beri-beri uang juga. Jadi hanya belum cukup persiapan saja," ujarnya.
Meski demikian, Sukaryadi tak menampik fakta bahwa dirinya sangat rindu berkumpul dengan keluarga ketika merayakan Lebaran. “Ya sebenarnya kangen, tapi kan tujuannya merantau itu untuk mencari uang dan mencukupi kebutuhan hidup keluarga, anak dan istri,” katanya.
Untuk mengobati rasa kangennya, Sukaryadi biasanya menelepon keluarganya dengan memanfaatkan aplikasi perpesanan yang tak perlu mengeluarkan biaya mahal. Tak jarang pula ia menggunakan fitur
video call supaya bisa melihat raut wajah anggota keluarga yang disayanginya.
“Semenjak 2012 itu kan sudah marak ponsel Android, jadi agak bisa terobati karena setiap hari pulang kerja kami bisa telepon anak dan istri, serta orangtua. Bisa
video call lewat Kakaotalk dan Line, lebih mudah,” ujarnya.
Beruntung, Ansan merupakan salah satu kawasan di Korea Selatan yang menjadi pusat berkumpulnya buruh migran asal Indonesia, selain Incheon dan Suwon. Sekitar 5.000 pekerja Indonesia dari berbagai daerah mencari nafkah di kawasan itu. Karenanya, Sukaryadi bisa dengan mudah menghubungi teman-teman lainnya untuk salat ied bersama.
Sepuluh menit berjalan kaki, sampailah Sukaryadi di Masjid Shirathal Mustaqim. Di area rumah ibadah itu terlihat antrean mengular. Orang-orang menyesaki halaman masjid untuk menunggu giliran salat. Dari jauh nampak mayoritas orang yang mengantre untuk masuk itu adalah warga negara Indonesia (WNI), karena secara fisik mereka tidak berbeda jauh dengan Sukaryadi.
Ketua Kelompok Kesenian Jaranan Turonggo Manggolo Budoyo Korea (TMBK) itu bercerita, di Masjid Shirathal Mustaqim salat ied dilakukan tiga kali atau dibagi menjadi tiga gelombang. Gelombang pertama digelar pada pukul 06.30 pagi untuk jamaah asal Uzbekistan. Selang sekitar satu jam, gelombang kedua dilakukan untuk jamaah dari Pakistan dan Bangladesh. Dilanjutkan dengan gelombang terakhir bagi WNI.
Setelah memasuki area halaman dalam masjid, Sukaryadi berbincang dengan sejumlah buruh migran lain yang dikenalnya yang juga tengah menunggu giliran salat. WNI mendapat giliran salat terakhir karena jumlah jamaahnya yang selalu paling membludak setiap tahunnya.
Sekitar jam 08.30, panitia memanggil jamaah Indonesia untuk memasuki area dalam masjid. Sukaryadi dan teman-temannya buru-buru memburu barisan terdepan. Salat berlangsung khidmat hingga rakaat terakhir.
Bagi Sukaryadi, salat tiga gelombang di Masjid Shirathal Mustaqim adalah salah satu pengalaman unik, karena ia tak pernah mendapati fenomena serupa di Tanah Air, meski jamaahnya selalu padat hampir di setiap sudut lapangan atau masjid yang menggelar salat ied.
"Yang saya alami di Ansan adalah tiga gelombang di satu masjid, karena saking membludaknya pas Hari Raya. Apalagi Hari Raya pas hari Minggu, kan banyak yang libur," katanya.
Sejak 2013, papar Sukaryadi, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Seoul sudah tidak lagi menggelar acara salat ied bersama, tak seperti tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya, Pemerintah Kota Seoul telah memasukkan aktivitas salat ied di KBRI Seoul ke dalam daftar hitam (black list).
"KBRI tidak mengadakan salat ied karena sudah kena black list dari Kota Seoul. Dulu tahun 2012 diadakan (salat ied), ternyata teman-teman itu setelah selesai salat di area itu banyak yang membuang sampah sembarangan,” ujarnya.
Lagipula, imbuh Sukaryadi, saat ini sudah ada sejumlah masjid dan musala yang berdiri di setiap kota besar di Korea Selatan. Ia menuturkan, jika di suatu daerah ingin mendirikan masjid atau musala, maka Komunitas Muslim Indonesia (KMI) biasanya akan memberikan bantuan pinjaman uang sewa yang didapat dari uang kas kelompok tersebut.
“Kalau masjid yang di Ansan itu sudah berbentuk bangunan masjid, karena tanahnya sudah dibeli sendiri. Hanya kalau di daerah-daerah lain itu masih menyewa gedung, lalu dijadikan masjid atau musala,” katanya.
Bisha, Provinsi 'Asir, Arab Saudi Sriani baru saja selesai menyeka seluruh badannya dengan handuk ketika jam menunjukkan pukul 23.00 waktu setempat pada hari terakhir di Bulan Ramadhan 1435 Hijriyah atau 16 Juli 2015. Arab Saudi memiliki perbedaan empat jam lebih lambat dibanding Waktu Indonesia bagian Barat. Wanita yang akrab disapa Titin itu lantas merebahkan badannya yang letih di atas ranjang setelah tenaganya diperas seharian. Sebagai pekerja rumah tangga, ia memang dituntut untuk selalu dalam keadaan siap sedia melayani jika sewaktu-waktu majikan membutuhkan bantuannya. Beberapa menit ia hanya memandangi layar ponsel sembari mencari nomor telepon seseorang. Setelah menemukan nomor kontak yang dicari, Titin kemudian menekan tombol "Dial" dan menunggu teleponnya diangkat. "Halo, assalamualaikum?" sapa seseorang bersuara lembut di seberang. "Halo, waalaikumsalam, Bu. Apa kabar? Ini Titin. Minal aidzin wal faidzin ya," ucap Titin ketika mendengar suara ibunya. Air pun mengalir dari mata Titin. Ia mengingat kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya terhadap sang bunda. Hal yang membuatnya merasa lebih bersalah adalah: lagi-lagi ia belum bisa meminta maaf kepada ibunya secara langsung pada Hari Raya Idul Fitri. Ini tahun ke-6 Titin menghabiskan Hari Lebaran di Arab Saudi. Setelah puas meminta maaf dan mengobrol dengan ayah, ibu, dan beberapa anggota keluarganya di Malang, Jawa Timur, Titin menutup telepon dan mencoba untuk memejamkan mata agar tidak kesiangan bangun nantinya. Ia akhirnya merasa lega karena telah mendengar suara, bahkan meminta maaf, orang-orang yang disayanginya. Menurutnya, itu adalah inti dari Hari Lebaran, alih-alih membeli pakaian baru, menggelar pesta perayaan, atau makan makanan enak. "Jam 12.00 malam di Arab Saudi atau saat di Malang itu jam 04.00 subuh, saya telepon mereka, minta maaf ke orangtua, saudara, dan lain-lain. Kalau sudah minta maaf kepada keluarga saya di Indonesia, itu baru Lebaran yang sesungguhnya. Jadi tenteram hati ini rasanya kalau sudah minta maaf," kata Titin kepada CNNIndonesia.com. Sekira pukul 04.00, Titin bangun dari tidurnya. Ia langsung menuju dapur untuk menyiapkan berbagai menu masakan yang diminta majikannya. Ia harus buru-buru memasak banyak makanan, karena biasanya setelah salat ied banyak keluarga majikannya yang datang bersilaturahmi. Kesibukannya menyiapkan bermacam jenis roti, sayuran, sup, nasi, dan masakan lainnya pun mau tak mau memaksa Titin untuk menjalankan ibadah salat ied sendirian di dapur. Ia sudah terbiasa, karena hal ini dilakukannya selama beberapa tahun belakangan. "Salat ied saja saya nyolong-nyolong. Jam 07.00 majikan dan keluarga besarnya ke masjid, saya kan di rumah harus membuat hidangan. Jadi saya salat di dapur juga sambil menunggu masakan," ujar Titin. Meski banyak tamu yang berkunjung ke rumah majikannya kala Hari Lebaran, Titin tak merasakan kemeriahan acara itu. Ia justru merasa tenaganya ekstra terkuras, karena sang majikan menyuruhnya melakukan lebih banyak pekerjaan. "Saya tinggal di rumah seorang nenek yang punya anak delapan, jadi kalau Lebaran itu mereka berkumpul semua. Saya kan hanya pembantu, jadi saya tetap bekerja, tidak ikut merasakan perayaan mereka, justru ekstra pekerjaan," ujar Titin. Ia bahkan harus mencuri-curi waktu "tidur siang" ketika Hari Lebaran, yakni dengan duduk dan menyandarkan kepalanya di meja yang terletak di dapur sembari masih dalam keadaan setengah awas kalau-kalau majikannya memanggil namanya. "Itu pintar-pintarnya curi waktu. Kalau Lebaran biasanya selesai saya menghidangkan makanan, kalau mengantuk ya saya cari tempat bersandar atau menundukkan kepala di meja di dapur. Misal ada panggilan atau perintah, baru deh lari. Jadi standby saja di dapur, pokoknya jangan ke kamar lah," kata Titin. Wanita kelahiran 5 Juli 1980 itu bercerita, ketika tahun pertama menjalani Lebaran di Arab Saudi, tepatnya di Riyadh, ia terheran. Ia menuturkan, di negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam itu ternyata tidak semeriah di Indonesia kala merayakan Hari Kemenangan. "Di sini enggak ada takbiran semalaman. Di Indonesia kan sudah ada gema takbir sejak malam sebelumnya sampai keesokan paginya, jadi bisa terenyuh. Di sini takbir paling setengah jam sudah selesai, jadi tidak segemerlap di Indonesia. Mungkin karena ini negaranya tertutup, keluar rumah saja pakai cadar," kata Titin mencoba menduga. Perayaan Lebaran, lanjut Titin, lebih tak begitu terasa di daerah-daerah pedesaan seperti Bisha. Namun, ia mengaku, beberapa hari sebelum Lebaran, majikannya memberi hadiah berupa baju baru, uang sebanyak 50 real atau sekitar Rp200 ribu, serta uang sebesar 20 real untuk memberi pulsa telepon. Titin mengisahkan, ia baru merasakan meriahnya Ramadan pada tahun 2016 ini, yakni ketika ia ikut suaminya berpindah ke Jeddah. Pada Januari lalu, Titin dipersunting seorang buruh migran asal Madura yang bekerja di sebuah pusat perbelanjaan di Jeddah. Sejak saat itu, ia pun berhenti bekerja untuk sementara dan tinggal bersama suaminya. "Di Jeddah ini, masya Allah, kayak di Indonesia. Saya saja sekarang ini tinggal di kos-kosan yang isinya semua orang Indonesia. Beda jauh dengan ketika di Riyadh atau Bisha selama sekitar enam tahun kemarin," ujarnya. Titin dan suaminya juga berencana untuk melakukan salat ied di Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Jeddah bersama warga Indonesia lainnya. "Lebaran tahun-tahun lalu kan saya di Riyadh dan Bisha itu tidak ada KJRI. Jadi baru kali ini saya ikut buka bersama di KJRI dan insya Allah nanti Lebaran bisa berkumpul engan teman-teman di sana juga," katanya. Tuen Mun, Hongkong Sringatin meraih telepon genggam yang tergeletak di samping ranjangnya. Masih pada tanggal 31 Ramadan 1435 Hijriyah, jam menunjukkan pukul 23.30 waktu Hongkong saat ia menerima sebuah ajakan conference call dari seorang sahabat. "Ayo takbiran! Allahu akbar, allahu akbar, allahu akbar. Lailahailallahu allahu akbar. Allahu akbar walilla ilham!" seru suara di seberang yang diikuti teriakan takbir dari penelepon lainnya. Sri--sapaan Sringatin--pun ikut melantunkan takbir sambil mengajak teman lainnya untuk bergabung dalam conference call yang sudah diikuti enam orang sahabatnya itu. Hingga belasan orang terkumpul, akhirnya mereka mengucapkan takbir bersama berulang kali. Persamaan belasan orang itu adalah: mereka sama-sama buruh migran di Hongkong yang tidak mudik kala Lebaran. Sri sendiri sudah 14 tahun mengais rezeki di Hongkong. Dalam kurun waktu selama itu, kadang dua atau empat tahun sekali ia pulang ke Tanah Air. Itu pun tak pernah bertepatan saat Lebaran, karena tiket pesawat ke Indonesia untuk hari-hari menjelang Idul Fitri, yang biasanya bersamaan dengan libur musim panas, sangat susah dicari. Apabila ada, harganya pun selalu melonjak tinggi. Merasa senasib dengan teman-temannya itu, conference call untuk silaturahmi dan melantunkan takbir bersama dengan para sahabat menjadi momen paling mengasyikkan bagi Sri sembari menghabiskan malam sebelum Ramadan benar-benar pergi digantikan Syawal. "Lima sampai 20 orang, tergantung siapa yang matanya masih terbuka untuk takbiran, kami conference call pakai handphone. Yang penting kami dengar suara satu sama lain, terus takbiran sebentar dan dilanjut dengan cerita-cerita," kata Sri kepada CNNIndonesia.com. Lama conference call, imbuh Sri, bervariasi pada tiap orang, bisa satu sampai dua jam, tergantung pulsa yang dimiliki masing-masing. Sedangkan topik pembicaraan sangat bermacam. Ada yang cerita mengenai banyaknya uang yang dikirim ke kampung, cerita permintaan anaknya untuk hadiah Lebaran, cerita nostalgia, dan lain-lain. "Karena besoknya kami salat ied bersama di Victoria Park, biasanya dari malam itu kami sudah enggak bisa tidur, membayangkan besok bagaimana, karena spesial sekali. Bahkan kami sudah atur siasat soal siapa yang harus datang lebih pagi dan siapa yang bawa koran di sana untuk mencari dan menandai tempat salat agar tidak kehabisan, jamaahnya kan membludak," ujarnya. Setelah sekitar dua jam berbincang dengan para sahabatnya itu, Sri memaksa dirinya untuk tidur supaya tidak kesiangan untuk berangkat salat ied yang setiap tahunnya digelar di Victoria Park, taman luas yang menjadi titik berkumpul para buruh migran dan komunitas orang Indonesia setiap pekan. Sekira pukul 06.00 Sri bangun dan bersiap, sebelum akhirnya, sejam kemudian, bergegas meninggalkan rumah majikannya menuju halte subway ke arah Victoria Park. Butuh sekitar tiga puluh menit baginya untuk sampai ke taman itu. Meski salat ied baru akan dimulai pukul 09.00, ia merasa harus datang paling tidak satu jam sebelumnya jika ingin mendapatkan tempat di lapangan itu. "Di lapangan Victoria Park itu titik pusatnya. Jamaah bisa muat sampai 10 ribu bahkan 20 ribu orang. Meski ada beberapa titik lain, titik pusatnya masih di situ. Kalau Lebaran jatuh pada hari Minggu, bisa lebih jumlahnya, karenanya ada dua lapangan sekaligus yang digunakan. Memang sangat membludak jumlahnya biasanya," kata Sri. Karena sangat banyaknya warga Indonesia yang berkumpul di Victoria Park saat Lebaran, maka wanita asal Blitar itu tak heran jika sinyal ponsel selalu sangat sulit ditemukan. Biasanya, jauh-jauh hari sebelum Idul Fitri, ia dan teman-temannya menentukan di mana dan bagaimana mencari titik berkumpul yang paling pas. "Kendalanya itu jaringan yang sangat sibuk. Jadi biasanya setelah salat ied itu telepon susah sekali. Saya enggak tahu kenapa, tapi yang jelas handphone tidak berfungsi. Mungkin karena puluhan bahkan ratusan ribu orang tumplek blek di situ secara bersamaan dan menggunakan jaringan telepon,” ujarnya. Itu juga yang membuat Sri dan sebagian besar warga Indonesia di Hongkong tidak bisa langsung menelepon keluarganya di daerah asalnya. Maka, biasanya mereka menyiasatinya dengan mengirim teks via aplikasi perpesanan, kemudian baru menelepon pada malam hari atau keesokan paginya, setelah jaringan telepon kembali stabil. Berhubung Lebaran jatuh di hari kerja, maka setelah salat ied, Sri dan teman-temannya langsung menuju ke Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Hongkong untuk bersilaturahmi dan bertemu dengan para buruh migran atau anggota komunitas Indonesia yang lain, sebelum akhirnya kembali ke kesibukannya masing-masing. Sri yang menjabat sebagai Ketua Indonesian Migrant Workers Union (IMWU) sekaligus Koordinator Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) HK-Macau ini biasanya akan bertolak ke shelter-shelter yang disediakan kelompoknya untuk tempat persinggahan buruh migran asal Indonesia yang terkena suatu kasus dan tidak bisa pulang karena harus menunggu proses penyelesaian kasusnya. Ada beberapa shelter yang setiap unitnya diisi lima hingga 35 orang. "Di sini kan kebetulan saya di organisasi, jadi kami biasanya kalau Lebaran itu bersama dengan teman-teman di shelter mencoba untuk membuat suasan seperti di rumah, seperti masak makanan yang biasa kita temui pas Lebaran," katanya. Tak hanya warga shelter, organisasi yang dipimpin Sri biasanya mengajak penduduk lokal, baik muslim maupun non-muslim, untuk berkunjung ke shelter dan menikmati makanan yang dihidangkan. Dengan begitu, tutur Sri, maka orang Hongkong bisa juga mengenal budaya perayaan Lebaran khas Indonesia. Sri menjelaskan, tak semua buruh migran asal Indonesia mendapatkan hari libur ketika Lebaran karena memiliki tanggung jawab pekerjaan. Misalnya, bagi mereka yang bekerja sebagai pengasuh bayi, anak yang masih sekolah, atau orang renta, sedangkan di hari kerja sang majikan harus bekerja, sehingga tidak ada yang bisa menggantikan pekerjaan sang pekerja rumah tangga. Hal itu tetap terjadi meski KJRI di Hongkong sudah mengeluarkan surat edaran mengenai Hari Raya Idul Fitri bagi umat muslim. Oleh karenanya, komunitas Indonesia biasanya berbondong-bondong melakukan open house atau halal-bihalal di Victoria Park pada akhir pekan setelah Hari Lebaran. Sri bercerita, biasanya setiap komunitas akan membawa makanan khas daerah masing-masing. Suasana taman luas itu akan berubah seperti kampung halaman. Anggota masing-masing komunitas biasanya akan berkeliling satu sama lain untuk bersalaman. “Jadi kayak benar-benar di rumah, cuma bedanya ini di taman. Hehehe… Ada toples-toples jajanan khas, ketupat, sayur, dan lainnya. Pokoknya pas hari itu dijamin dari pagi sampai malam semua orang pasti kenyang,” ujar Sri seraya terkekeh. Wanita kelahiran 7 Agustus 1980 itu memaparkan, selain mahalnya biaya pulang ke kampung halaman, buruh migran asal Indonesia biasanya memilih untuk tidak mudik dikarenakan kontrak kerja yang hanya memperbolehkan cuti selama dua tahun atau empat tahun sekali. Selain itu, bagi pekerja rumah tangga yang mengasuh anak yang bersekolah, mereka harus menyesuaikan jadwal cutinya dengan musim libur anak yang diasuhnya itu. “Apalagi pas Lebaran, berapa banyak saudara yang harus dikasih jatah uang saku dan lain-lain. Ada juga yang memilih untuk tidak pulang karena kebutuhan yang sangat banyak. Kemarin saya dengar teman saya ada yang mengirim uang Lebaran ke kampung sampai Rp6 juta. Kan itu sudah lumayan besar,” katanya.