Kisah Buruh Migran Rayakan Lebaran di Perantauan

Resty Armenia | CNN Indonesia
Rabu, 06 Jul 2016 13:50 WIB
Tak semua bisa berlebaran bersama keluarga. Karena alasan pekerjaan, buruh migran harus rela berlebaran jauh dari keluarga di kampung halaman.
Ilustrasi buruh migran (CNN Indonesia/Safir Makki)
Tuen Mun, Hongkong Sringatin meraih telepon genggam yang tergeletak di samping ranjangnya. Masih pada tanggal 31 Ramadan 1435 Hijriyah, jam menunjukkan pukul 23.30 waktu Hongkong saat ia menerima sebuah ajakan conference call dari seorang sahabat. "Ayo takbiran! Allahu akbar, allahu akbar, allahu akbar. Lailahailallahu allahu akbar. Allahu akbar walilla ilham!" seru suara di seberang yang diikuti teriakan takbir dari penelepon lainnya. Sri--sapaan Sringatin--pun ikut melantunkan takbir sambil mengajak teman lainnya untuk bergabung dalam conference call yang sudah diikuti enam orang sahabatnya itu. Hingga belasan orang terkumpul, akhirnya mereka mengucapkan takbir bersama berulang kali. Persamaan belasan orang itu adalah: mereka sama-sama buruh migran di Hongkong yang tidak mudik kala Lebaran. Sri sendiri sudah 14 tahun mengais rezeki di Hongkong. Dalam kurun waktu selama itu, kadang dua atau empat tahun sekali ia pulang ke Tanah Air. Itu pun tak pernah bertepatan saat Lebaran, karena tiket pesawat ke Indonesia untuk hari-hari menjelang Idul Fitri, yang biasanya bersamaan dengan libur musim panas, sangat susah dicari. Apabila ada, harganya pun selalu melonjak tinggi. Merasa senasib dengan teman-temannya itu, conference call untuk silaturahmi dan melantunkan takbir bersama dengan para sahabat menjadi momen paling mengasyikkan bagi Sri sembari menghabiskan malam sebelum Ramadan benar-benar pergi digantikan Syawal. "Lima sampai 20 orang, tergantung siapa yang matanya masih terbuka untuk takbiran, kami conference call pakai handphone. Yang penting kami dengar suara satu sama lain, terus takbiran sebentar dan dilanjut dengan cerita-cerita," kata Sri kepada CNNIndonesia.com. Lama conference call, imbuh Sri, bervariasi pada tiap orang, bisa satu sampai dua jam, tergantung pulsa yang dimiliki masing-masing. Sedangkan topik pembicaraan sangat bermacam. Ada yang cerita mengenai banyaknya uang yang dikirim ke kampung, cerita permintaan anaknya untuk hadiah Lebaran, cerita nostalgia, dan lain-lain. "Karena besoknya kami salat ied bersama di Victoria Park, biasanya dari malam itu kami sudah enggak bisa tidur, membayangkan besok bagaimana, karena spesial sekali. Bahkan kami sudah atur siasat soal siapa yang harus datang lebih pagi dan siapa yang bawa koran di sana untuk mencari dan menandai tempat salat agar tidak kehabisan, jamaahnya kan membludak," ujarnya. Setelah sekitar dua jam berbincang dengan para sahabatnya itu, Sri memaksa dirinya untuk tidur supaya tidak kesiangan untuk berangkat salat ied yang setiap tahunnya digelar di Victoria Park, taman luas yang menjadi titik berkumpul para buruh migran dan komunitas orang Indonesia setiap pekan. Sekira pukul 06.00 Sri bangun dan bersiap, sebelum akhirnya, sejam kemudian, bergegas meninggalkan rumah majikannya menuju halte subway ke arah Victoria Park. Butuh sekitar tiga puluh menit baginya untuk sampai ke taman itu. Meski salat ied baru akan dimulai pukul 09.00, ia merasa harus datang paling tidak satu jam sebelumnya jika ingin mendapatkan tempat di lapangan itu. "Di lapangan Victoria Park itu titik pusatnya. Jamaah bisa muat sampai 10 ribu bahkan 20 ribu orang. Meski ada beberapa titik lain, titik pusatnya masih di situ. Kalau Lebaran jatuh pada hari Minggu, bisa lebih jumlahnya, karenanya ada dua lapangan sekaligus yang digunakan. Memang sangat membludak jumlahnya biasanya," kata Sri. Karena sangat banyaknya warga Indonesia yang berkumpul di Victoria Park saat Lebaran, maka wanita asal Blitar itu tak heran jika sinyal ponsel selalu sangat sulit ditemukan. Biasanya, jauh-jauh hari sebelum Idul Fitri, ia dan teman-temannya menentukan di mana dan bagaimana mencari titik berkumpul yang paling pas. "Kendalanya itu jaringan yang sangat sibuk. Jadi biasanya setelah salat ied itu telepon susah sekali. Saya enggak tahu kenapa, tapi yang jelas handphone tidak berfungsi. Mungkin karena puluhan bahkan ratusan ribu orang tumplek blek di situ secara bersamaan dan menggunakan jaringan telepon,” ujarnya. Itu juga yang membuat Sri dan sebagian besar warga Indonesia di Hongkong tidak bisa langsung menelepon keluarganya di daerah asalnya. Maka, biasanya mereka menyiasatinya dengan mengirim teks via aplikasi perpesanan, kemudian baru menelepon pada malam hari atau keesokan paginya, setelah jaringan telepon kembali stabil. Berhubung Lebaran jatuh di hari kerja, maka setelah salat ied, Sri dan teman-temannya langsung menuju ke Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Hongkong untuk bersilaturahmi dan bertemu dengan para buruh migran atau anggota komunitas Indonesia yang lain, sebelum akhirnya kembali ke kesibukannya masing-masing. Sri yang menjabat sebagai Ketua Indonesian Migrant Workers Union (IMWU) sekaligus Koordinator Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) HK-Macau ini biasanya akan bertolak ke shelter-shelter yang disediakan kelompoknya untuk tempat persinggahan buruh migran asal Indonesia yang terkena suatu kasus dan tidak bisa pulang karena harus menunggu proses penyelesaian kasusnya. Ada beberapa shelter yang setiap unitnya diisi lima hingga 35 orang. "Di sini kan kebetulan saya di organisasi, jadi kami biasanya kalau Lebaran itu bersama dengan teman-teman di shelter mencoba untuk membuat suasan seperti di rumah, seperti masak makanan yang biasa kita temui pas Lebaran," katanya. Tak hanya warga shelter, organisasi yang dipimpin Sri biasanya mengajak penduduk lokal, baik muslim maupun non-muslim, untuk berkunjung ke shelter dan menikmati makanan yang dihidangkan. Dengan begitu, tutur Sri, maka orang Hongkong bisa juga mengenal budaya perayaan Lebaran khas Indonesia. Sri menjelaskan, tak semua buruh migran asal Indonesia mendapatkan hari libur ketika Lebaran karena memiliki tanggung jawab pekerjaan. Misalnya, bagi mereka yang bekerja sebagai pengasuh bayi, anak yang masih sekolah, atau orang renta, sedangkan di hari kerja sang majikan harus bekerja, sehingga tidak ada yang bisa menggantikan pekerjaan sang pekerja rumah tangga. Hal itu tetap terjadi meski KJRI di Hongkong sudah mengeluarkan surat edaran mengenai Hari Raya Idul Fitri bagi umat muslim. Oleh karenanya, komunitas Indonesia biasanya berbondong-bondong melakukan open house atau halal-bihalal di Victoria Park pada akhir pekan setelah Hari Lebaran. Sri bercerita, biasanya setiap komunitas akan membawa makanan khas daerah masing-masing. Suasana taman luas itu akan berubah seperti kampung halaman. Anggota masing-masing komunitas biasanya akan berkeliling satu sama lain untuk bersalaman. “Jadi kayak benar-benar di rumah, cuma bedanya ini di taman. Hehehe… Ada toples-toples jajanan khas, ketupat, sayur, dan lainnya. Pokoknya pas hari itu dijamin dari pagi sampai malam semua orang pasti kenyang,” ujar Sri seraya terkekeh. Wanita kelahiran 7 Agustus 1980 itu memaparkan, selain mahalnya biaya pulang ke kampung halaman, buruh migran asal Indonesia biasanya memilih untuk tidak mudik dikarenakan kontrak kerja yang hanya memperbolehkan cuti selama dua tahun atau empat tahun sekali. Selain itu, bagi pekerja rumah tangga yang mengasuh anak yang bersekolah, mereka harus menyesuaikan jadwal cutinya dengan musim libur anak yang diasuhnya itu. “Apalagi pas Lebaran, berapa banyak saudara yang harus dikasih jatah uang saku dan lain-lain. Ada juga yang memilih untuk tidak pulang karena kebutuhan yang sangat banyak. Kemarin saya dengar teman saya ada yang mengirim uang Lebaran ke kampung sampai Rp6 juta. Kan itu sudah lumayan besar,” katanya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

(sur)

HALAMAN:
1 2 3
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER