Bisha, Provinsi 'Asir, Arab Saudi Sriani baru saja selesai menyeka seluruh badannya dengan handuk ketika jam menunjukkan pukul 23.00 waktu setempat pada hari terakhir di Bulan Ramadhan 1435 Hijriyah atau 16 Juli 2015. Arab Saudi memiliki perbedaan empat jam lebih lambat dibanding Waktu Indonesia bagian Barat. Wanita yang akrab disapa Titin itu lantas merebahkan badannya yang letih di atas ranjang setelah tenaganya diperas seharian. Sebagai pekerja rumah tangga, ia memang dituntut untuk selalu dalam keadaan siap sedia melayani jika sewaktu-waktu majikan membutuhkan bantuannya. Beberapa menit ia hanya memandangi layar ponsel sembari mencari nomor telepon seseorang. Setelah menemukan nomor kontak yang dicari, Titin kemudian menekan tombol "Dial" dan menunggu teleponnya diangkat. "Halo, assalamualaikum?" sapa seseorang bersuara lembut di seberang. "Halo, waalaikumsalam, Bu. Apa kabar? Ini Titin. Minal aidzin wal faidzin ya," ucap Titin ketika mendengar suara ibunya. Air pun mengalir dari mata Titin. Ia mengingat kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya terhadap sang bunda. Hal yang membuatnya merasa lebih bersalah adalah: lagi-lagi ia belum bisa meminta maaf kepada ibunya secara langsung pada Hari Raya Idul Fitri. Ini tahun ke-6 Titin menghabiskan Hari Lebaran di Arab Saudi. Setelah puas meminta maaf dan mengobrol dengan ayah, ibu, dan beberapa anggota keluarganya di Malang, Jawa Timur, Titin menutup telepon dan mencoba untuk memejamkan mata agar tidak kesiangan bangun nantinya. Ia akhirnya merasa lega karena telah mendengar suara, bahkan meminta maaf, orang-orang yang disayanginya. Menurutnya, itu adalah inti dari Hari Lebaran, alih-alih membeli pakaian baru, menggelar pesta perayaan, atau makan makanan enak. "Jam 12.00 malam di Arab Saudi atau saat di Malang itu jam 04.00 subuh, saya telepon mereka, minta maaf ke orangtua, saudara, dan lain-lain. Kalau sudah minta maaf kepada keluarga saya di Indonesia, itu baru Lebaran yang sesungguhnya. Jadi tenteram hati ini rasanya kalau sudah minta maaf," kata Titin kepada CNNIndonesia.com. Sekira pukul 04.00, Titin bangun dari tidurnya. Ia langsung menuju dapur untuk menyiapkan berbagai menu masakan yang diminta majikannya. Ia harus buru-buru memasak banyak makanan, karena biasanya setelah salat ied banyak keluarga majikannya yang datang bersilaturahmi. Kesibukannya menyiapkan bermacam jenis roti, sayuran, sup, nasi, dan masakan lainnya pun mau tak mau memaksa Titin untuk menjalankan ibadah salat ied sendirian di dapur. Ia sudah terbiasa, karena hal ini dilakukannya selama beberapa tahun belakangan. "Salat ied saja saya nyolong-nyolong. Jam 07.00 majikan dan keluarga besarnya ke masjid, saya kan di rumah harus membuat hidangan. Jadi saya salat di dapur juga sambil menunggu masakan," ujar Titin. Meski banyak tamu yang berkunjung ke rumah majikannya kala Hari Lebaran, Titin tak merasakan kemeriahan acara itu. Ia justru merasa tenaganya ekstra terkuras, karena sang majikan menyuruhnya melakukan lebih banyak pekerjaan. "Saya tinggal di rumah seorang nenek yang punya anak delapan, jadi kalau Lebaran itu mereka berkumpul semua. Saya kan hanya pembantu, jadi saya tetap bekerja, tidak ikut merasakan perayaan mereka, justru ekstra pekerjaan," ujar Titin. Ia bahkan harus mencuri-curi waktu "tidur siang" ketika Hari Lebaran, yakni dengan duduk dan menyandarkan kepalanya di meja yang terletak di dapur sembari masih dalam keadaan setengah awas kalau-kalau majikannya memanggil namanya. "Itu pintar-pintarnya curi waktu. Kalau Lebaran biasanya selesai saya menghidangkan makanan, kalau mengantuk ya saya cari tempat bersandar atau menundukkan kepala di meja di dapur. Misal ada panggilan atau perintah, baru deh lari. Jadi standby saja di dapur, pokoknya jangan ke kamar lah," kata Titin. Wanita kelahiran 5 Juli 1980 itu bercerita, ketika tahun pertama menjalani Lebaran di Arab Saudi, tepatnya di Riyadh, ia terheran. Ia menuturkan, di negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam itu ternyata tidak semeriah di Indonesia kala merayakan Hari Kemenangan. "Di sini enggak ada takbiran semalaman. Di Indonesia kan sudah ada gema takbir sejak malam sebelumnya sampai keesokan paginya, jadi bisa terenyuh. Di sini takbir paling setengah jam sudah selesai, jadi tidak segemerlap di Indonesia. Mungkin karena ini negaranya tertutup, keluar rumah saja pakai cadar," kata Titin mencoba menduga. Perayaan Lebaran, lanjut Titin, lebih tak begitu terasa di daerah-daerah pedesaan seperti Bisha. Namun, ia mengaku, beberapa hari sebelum Lebaran, majikannya memberi hadiah berupa baju baru, uang sebanyak 50 real atau sekitar Rp200 ribu, serta uang sebesar 20 real untuk memberi pulsa telepon. Titin mengisahkan, ia baru merasakan meriahnya Ramadan pada tahun 2016 ini, yakni ketika ia ikut suaminya berpindah ke Jeddah. Pada Januari lalu, Titin dipersunting seorang buruh migran asal Madura yang bekerja di sebuah pusat perbelanjaan di Jeddah. Sejak saat itu, ia pun berhenti bekerja untuk sementara dan tinggal bersama suaminya. "Di Jeddah ini, masya Allah, kayak di Indonesia. Saya saja sekarang ini tinggal di kos-kosan yang isinya semua orang Indonesia. Beda jauh dengan ketika di Riyadh atau Bisha selama sekitar enam tahun kemarin," ujarnya. Titin dan suaminya juga berencana untuk melakukan salat ied di Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Jeddah bersama warga Indonesia lainnya. "Lebaran tahun-tahun lalu kan saya di Riyadh dan Bisha itu tidak ada KJRI. Jadi baru kali ini saya ikut buka bersama di KJRI dan insya Allah nanti Lebaran bisa berkumpul engan teman-teman di sana juga," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT