Jakarta, CNN Indonesia --
"Baju baru alhamdulillah, untuk dipakai di hari raya"Penggalan lirik lagu di atas lazim didengar jelang Hari Raya Idul Fitri di Indonesia. Lantunan lagu tersebut biasanya juga akan dikumandangkan di tiap pusat perbelanjaan melalui pengeras suara.
Tulisan "diskon hingga 70%" atau "beli dua gratis satu" yang menghiasi tiap sudut pusat perbelanjaan kian menyemarakan suasana jelang lebaran. Iming-iming itu pula yang membuat masyarakat berbondong-bondong untuk menghamburkan uangnya demi mendapatkan pakaian baru dengan harga yang lebih murah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tradisi membeli pakaian baru untuk digunakan di hari lebaran, jadi satu hal wajib bagi sebagian orang. Selain keperluan untuk membeli aneka makanan tentunya.
Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Indonesia, Imam Addaruqudni mengatakan, tradisi membeli barang baru saat lebaran bukan hal yang dilarang agama. Namun menurutnya harus diakui kadang ada yang berlebihan. Perilaku yang justru bertentangan dengan esensi Ramadan.
"Itu sebenarnya tradisi yang kurang bagus karena mengubah hidupnya menjadi lebih konsumtif," kata Imam saat berbincang dengan CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Membeli baju saat lebaran jika memang dibutuhkan menurut Imam sah-sah saja. Namun jika berlebihan, apalagi membeli pakaian dilakukan sepanjang tahun, bukan cuma saat lebaran, tentu ini tak baik. Pasalnya dalam agama juga disebutkan bahwa berhari raya dianjurkan mengenakan pakaia yang baik.
Tak cuma perilaku konsumtif, hal yang mencolok jelang lebaran adalah suasan kontras di tempat ibadah dan pusat perbelanjaan. Jika semakin dekat lebaran masjid semakin sepi, maka sebaliknya di mal akan bertambah ramai.
Fenomena tersebut, kata Imam, hanya terjadi di Indonesia saja. Menurutnya hal yang membuat masyarakat lebih memilih mengunjungi pusat perbelanjaan dibanding masjid adalah karena promosi yang dilakukan pusat perbelanjaan menyaingi khotbah yang dikumandangkan masjid, bahkan bisa lebih nyaring.
"Lihat saja ramainya
speaker mal sama dengan masjid, promosi harga murah dan diskon (berkumandang) sampai ke jalan," ujar Imam.
Tak hanya menyaingi suara pengeras suara masjid, tak jarang lokasi pusat perbelanjaan itu tak jauh dari lokasi masjid yang tentu membuat suara pengumuman dan keberadaan masjid tertutup oleh megahnya pusat perbelanjaan modern tersebut. Hal semacam itu pun, kata Imam, hanya bisa ditemukan di Indonesia.
Seharusnya menurut Imam, pusat perbelanjaan itu tak perlu menggunakan pengeras suara untuk mempromosikan barang-barang yang mereka jual. Tampilan dinilai sudah menarik perhatian. Jika penggunaan pengeras suara itu bisa dikurangi, bukan tidak mungkin jumlah pengunjung pusat perbelanjaan jelang Lebaran bisa menurun dan jumlah jemaah Tarawih berjamaah di masjid tetap sama selama 30 hari bulan Ramadan.
"Tradisi ini hanya ada di Indonesia, seharusnya (promosi) itu tak sampai mengalahkan suara dari Masjid," kata Imam.
(sur)