Jakarta, CNN Indonesia -- SMA Negeri 70 Jakarta sependapat bahwa larangan melibatkan siswa senior dalam pelaksanaan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) dapat mengurangi tindak kekerasan di sekolah. Sejak tiga tahun lalu, tepatnya setelah tawuran dengan SMA Negeri 6 tahun 2012, sekolah itu tidak pernah lagi menyertakan siswa sebagai panitia pelaksana Masa Orientasi Sekolah (MOS).
Untuk itu, terbitnya Peraturan Menteri dan Kebudayaan Nomor 18 Tahun 2016 tentang PLS dipastikan tidak akan menimbulkan gesekan dengan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) di sekolah itu.
Wakil Kepala Sekolah Bidang Kemahasiswaan SMAN 70 Jakarta Sukardi mengatakan, keputusan untuk tidak membiarkan OSIS mengendalikan MOS selama ini merupakan tindakan revolusioner mengurangi tindak kekerasan di sekolah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Ini tahun ketiga kami tidak membolehkan OSIS memberi materi atau terjun dalam pelaksanaan MPLS. Tapi kami beri ruang mereka dalam bentuk memperkenalkan OSIS di SMA Negeri 70," kata Sukardi saat berbincang dengan CNNIndonesia.com di ruang kerjanya, Kamis (14/7).
Sukardi menjelaskan, saat ini pelibatan OSIS di SMAN 70 hanya sebatas membuat yel-yel bagi siswa baru. Hal itu dilakukan agar siswa baru tetap bersemangat saat mengikuti kegiatan MPLS.
SMAN 70 akan memulai kegiatan MPLS pada Sabtu (14/7).
Untuk menggantikan peran siswa, SMAN 70 melibatkan Komisi Penanggulangan AIDS agar memberikan pemahaman kepada siswa tentang bahaya AIDS bagi remaja.
"Karena ini juga memang sudah rekomendasi dari dinas agar Komisi AIDS ini diberi ruang," tuturnya.
Selain itu, SMAN 70 juga akan memberikan kegiatan yang mengajarkan kedisiplinan kepada siswa baru. Salah satunya dengan mengadakan kegiatan kerja bakti.
"Karena sifat MPLS ini hanya menyenangkan, nanti di hari ketiga kami juga akan adakan olahraga bersama. Jadi tidak ada atribut ploncop sama sekali, karena tiga tahun ini mereka siswa baru pakai seragam asalnya saja. Kami memberikan hanya sekadar name tag yang isinya nama, asal sekolah dan foto," ujarnya.
Keluarkan Siswa TawuranBelajar dari pengalaman terkait tawuran yang dilakukan siswa SMAN 70 dengan SMAN 6 Jakarta, lanjut Sukardi, pihaknya akan mengeluarkan siswa yang terlibat tawuran. Hal itu sudah menjadi kebijakan sekolah sejak tahun 2013.
“Didukung oleh kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bahwa siapapun yang terlibat tawuran tidak boleh lagi sekolah di SMA Negeri. Itu cukup efektif untuk menekan angka tawuran," kata Sukardi.
Namun menurutnya, perlu kehadiran orang tua untuk meminimalisasi terjadi tawuran. Sebab sekolah tidak bisa memantau siswa dalam 24 jam.
"Jangan kesannya setiap kejadian tawuran guru yang dikambinghitamkan. Saya tidak ingin mengatakan itu bukan tanggung jawab sekolah, bukan. Tapi harus menjadi kontrol bersama," ucapnya.
Sebab pada Oktober 2015, Sukardi mengaku sempat memergoki siswanya akan melakukan tawuran pada pukul 02.45 WIB dini hari. Dia mengetahui hal tersebut melalui rekaman CCTV yang ada di pintu gerbang sekolah.
"Akhirnya dengan toleransi karena waktu itu mau ujian semester. Siswa ini kami berikan kesempatan sampai ujian semseter selesai, setelah itu kami kembalikan ke orang tua. Alhamdulillah sampai sekarang tidak ada lagi, mudah-mudahan ini yang terakhir," tuturnya.
Sukardi mengaku tidak ada materi khusus yang disiapkan pihaknya untuk menunjang kegiatan MPLS agar siswa tidak melakukan tawuran atau tindak kekerasan. Hanya saja SMAN 70 telah mendelegasikan seorang guru bernama Afrizal untuk membuat program pencegahan kekerasan di sekolah.
Saat pembahasan sebelum Permendikbud diterbitkan, SMAN 70 diajak diskusi untuk menanggulangi kekerasan di sekolah. Sukardi juga menyebut ada beberapa sekolah se-Jabodetabek yang diundang.
“Nanti ada follow up, akan ada tim ke SMA 70. Hanya kami menunggu realisasinya seperti apa," ujarnya.
Dia juga berencana mengundang OSIS dari sekolah yang letaknya berdekatan dengan SMAN 70 untuk membina hubungan baik antara siswa di sekolah lain.
"Ada SMAN 6 dan SMAN 8. Memang kepala sekolah berencana mengumpulkan OSIS dalam rangka mencari konsep apa yang kira-kira pas momennya ada kegiatan bersama antar OSIS,” tuturnya.
Tahun 2012, dunia pendidikan Indonesia kembali dihebohkan dengan tawuran antara SMAN 70 dengan SMAN 6 Jakarta yang berujung satu siswa SMAN 6 menjadi korban tewas. Kapolres Jakarta Selatan saat itu Ajun Komisaris Besar Hermawan menyebut, siswa SMAN 70 terlebih dahulu menyerang siswa SMAN 6 sekitar pukul 12.00 WIB saat bubar sekolah.
Tawuran yang melibatkan enam siswa SMA 6 dan 20 siswa SMA 70 itu berlangsung singkat hanya 15 menit. Namun, dua orang terluka dan satu siswa bernama Alawy Yusianto Putra dibacok di bagian dada.
Siswa kelas X SMA 6 tersebut sempat dilarikan ke Rumah Sakit Muhammadiyah, namun nyawanya tidak tertolong. Di lokasi tawuran, ditemukan satu buah arit dengan noda darah.
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hamid Muhammad mengatakan, pihaknya hingga kini masih terus memantau sejumlah sekolah yang kerap terlibat tawuran. Kementerian memiliki daftar sekolah yang memang perlu dipantau.
“Kami melakukan pemantauan berkala terhadap sekolah-sekolah yang selama ini siswanya sering tawuran. Untuk di Jakarta, ada sekitar 70 sekolah. Tapi situasinya semakin membaik, semoga terus membaik,” kata Hamid saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Selasa (12/7).
(rdk)