Jakarta, CNN Indonesia -- Maskandar ingat kekecewaannya saat gagal panen dua tahun lalu. Dirinya tak mendapatkan untung saat itu, padahal menjadi petani adalah satu-satunya pekerjaan. Maskandar adalah petani tembakau asal Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Salah satu sebab adalah tak bisa diandalkannya lagi metode Wariga atau pengetahuan tradisional soal astronomi, untuk memprediksi cuaca.
Wariga merupakan cara tradisional masyarakat Lombok dalam memprediksi cuaca dan iklim yang berdasarkan pada kejadian alam. Salah satu penanda adalah ketika posisi matahari tepat berada di atas Pulau NTB pada pertengahan bulan Oktober setiap tahunnya. Cara ini menjadi pengingat kapan petani harus menanam dan memanen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Cara ini lama-lama tidak akurat karena cuaca sekarang sulit diprediksi," ujar Maskandar.
Hingga awal 2015, Maskandar mulai mengenal alat pengukur curah hujan bernama 'centong'. Ini bukan macam sendok besar untuk mengambil nasi. Alat sederhana itu berbentuk wadah dari tabung aluminium, menyerupai ember.
Centong dipasang pada kayu setinggi satu meter untuk menampung curah hujan. Dari curah hujan inilah, Maskandar membuat skenario cuaca untuk menentukan masa tanam dan masa panen.
Alat tersebut kemudian dipasang di tengah sawah. Posisinya tak boleh terlalu dekat dengan pohon atau benda tinggi lainnya. Hal ini untuk memastikan tak ada serat atau unsur lain yang masuk ke dalam tabung aluminium tersebut.
Selama seharian, centong akan dibiarkan menampung banyaknya air ketika hujan turun.
Keesokan harinya, barulah Maskandar mengukur curah hujan yang tertampung di centong. Ukuran itu kemudian dicatat dan dianalisis untuk mengetahui kondisi cuaca yang akan terjadi selama dua hingga tiga bulan ke depan.
Cara ini rupanya cukup efektif bagi Maskandar dan petani lainnya yang ada di Kecamatan Jerowaru. Dia tak perlu lagi kesulitan menentukan masa tanam dan masa panen tembakaunya. Sementara saat musim hujan, Maskandar bisa beralih menanam padi dan jagung.
"Sebelum mengukur curah hujan, cara kami masih ngawur. Tapi setelah mengukur, kami jadi tahu kondisi tanahnya dan cuaca seperti apa yang cocok untuk menanam," kata Maskandar.
Kondisi tanah milik petani yang satu dengan lainnya pun tak sama. Beruntung, kondisi tanah milik Maskandar termasuk kualitas I yang mudah untuk ditanami. Sedangkan petani lainnya memiliki jenis tanah kualitas II atau kualitas III dengan kondisi kering dan berbatu. Kondisi ini, menurutnya, akan menentukan kualitas tanaman dan hasil panen.
Dalam sekali panen tembakau milik Maskandar, hasilnya bisa mencapai 20 ton per hektar. Tembakau ini kemudian dibakar dalam oven besar yang berbentuk seperti rumah dalam waktu satu minggu. Tembakau yang sudah kering ini kemudian dijual ke perusahaan rokok tak jauh dari lokasi tanam.
Maskandar bersama petani lainnya kemudian tergabung dalam Klub Pengukur Curah Hujan (KPCH) Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur. Mereka bertemu satu bulan sekali untuk mengevaluasi hasil pengukuran curah hujan dari tiap lahan yang dimiliki.
Mengantisipasi KerugianSoal klub tersebut, ada penggagasnya. Adalah Profesor Yunita T Winarto dari Pusat Kajian (Puska) Antropologi FISIP Universitas Indonesia yang membentuk klub tersebut. Pembentukan KPCH ini merupakan bagian program Warung Ilmiah Lapangan (WIL) dari Puska UI melalui dukungan Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF).
ICCTF adalah satuan kerja di bawah Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas yang bertugas mengelola dana untuk penanggulangan perubahan iklim di Indonesia. Organ itu menggelontorkan dana sekitar Rp1 miliar untuk program pengukur curah hujan di Kabupaten Indramayu, termasuk Lombok Timur sejak April 2016 hingga Maret 2018.
Sampai saat ini, lanjut Yunita, telah ada sembilan klub yang terbagi di tiga kecamatan di Lombok Timur, masing-masing dua klub di Kecamatan Jerowaru, tiga klub di Kecamatan Sakra, dan empat klub di Kecamatan Keruak.
Yunita sengaja mengenalkan metode pengukuran curah hujan untuk mengantisipasi kerugian petani akibat gagal panen yang salah satunya disebabkan kondisi perubahan iklim.
Hal ini tentu lebih memudahkan bagi petani ketimbang harus memahami ramalan cuaca dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Sebab keterbatasan pengetahuan para petani membuat mereka sulit memahami istilah dari BMKG.
"Kalau mereka memahami curah hujan tertentu maka mereka tahu kondisi seperti apa yang cocok untuk menanam tembakau atau tanaman lain," ucapnya.
Dia menuturkan peranan dirinya sebagai peneliti adalah membantu para petani menganalisis hasil pengukuran curah hujan. Dari hasil tersebut, sambungnya, petani juga diminta untuk mengaitkan dengan kondisi lahan, tanah, dan asupan pupuk yang dibutuhkan.
Yunita mengakui adanya sejumlah kendala yang ditemui selama mengenalkan metode itu pada petani. Pasalnya, para petani selama ini telah terbiasa mengikuti pola tradisional dengan sistem Wariga.
Namun dia tak menampik pengetahuan tradisional pun dapat digunakan untuk mengetahui kondisi cuaca di suatu daerah. Salah satunya, binatang tonggeret. Jenis serangga yang mengeluarkan suara nyaring ini mestinya muncul di awal musim kemarau. Namun pada November tahun lalu, serangga ini telah muncul.
"November itu kan mestinya musim hujan, tapi karena instingnya saat itu masih kemarau ya serangga ini muncul," katanya.
Menurutnya, pengamatan pada perilaku binatang ini bisa menjadi metode pelengkap untuk mengukur curah hujan.
Kendala lainnya adalah kondisi tanah di Lombok Timur yang dominan kering. Dia membandingkan dengan kondisi tanah di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat yang juga tergabung dalam KPCH. Di Indramayu, terdapat sistem irigasi yang memudahkan petani mengelola lahan. Sementara di Lombok Timur, sistem irigasinya terbatas.
Hal tersebut, demikian Yunita, membuat pola tanam dan pola panen kedua daerah itu pun menjadi berbeda.
(asa)