Kejaksaan Tolak Rekomendasi Pengadilan Rakyat 1965

Lalu Rahadian dan Abi Sarwanto | CNN Indonesia
Jumat, 22 Jul 2016 15:54 WIB
Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menolak apapun yang diputuskan Pengadilan Rakyat Internasional atas Tragedi 1965. DPR pun mendukung penolakan tersebut.
Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menolak apapun yang diputuskan Pengadilan Rakyat Internasional atas Tragedi 1965. DPR pun mendukung langkah Pemerintah Indonesia. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menolak apapun yang diputuskan Pengadilan Rakyat Internasional atau International People's Tribunal (IPT) atas Tragedi 1965.

Menurutnya, penegak hukum di Indonesia memiliki cara tersendiri untuk menangani perkara tragedi puluhan tahun lalu itu.

"Kita tidak terikat dengan masalah itu. Kita punya cara menyelesaikan urusan di negara sendiri," ujar Prasetyo di Kejagung, Jakarta, Jumat (22/7).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Prasetyo, banyak pihak menginginkan perkara tragedi 1965 dibawa ke ranah persidangan. Namun, ia memastikan penyelidikan kasus tersebut masih dilakukan oleh lembaga adhyaksa dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

"Tentunya di sini nantinya masih harus didiskusikan kembali, karena selama ini yang sebelumnya menjadi semacem polemik antara dua lembaga ini (Kejagung dan Komnas HAM) sekarang sudah ada kesamaan pendapat," katanya.

Menurut Prasetyo, pengusutan kasus tragedi 1965 akan sulit dilakukan saat ini. Sebabnya, tragedi itu sudah terjadi puluhan tahun lalu, dan ia meragukan keberadaan saksi atau pelaku peristiwa itu saat ini.

"Memang ada beberapa pihak lah yang justru menginginkan proses ini dibawa ke persidangan. Saya kembalikan kepada mereka, bisa tidak mereka bantu mencari buktinya?" katanya.
Mengacu pada pernyataan Prasetyo, sebelumnya, salah satu korban yaitu sastrawan Martin Aleida telah menjadi saksi dalam persidangan IPT 1965 di Den Haag, Belanda, tahun lalu. 

Lelaki bernama asli Nurlan Daulay itu menceritakan apa yang pernah dialaminya di Kamp Konsentrasi Kalong pada awal 1966.

Martin Aleida ditangkap bersama enam orang kawannya dalam penangkapan besar-besaran yang dilakukan militer terhadap orang-orang diduga terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Aleida ditangkap karena pernah bergabung dengan majalah kebudayaan Zaman Baru terbitan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Pada malam pekat pertengahan tahun 1966, Martin dibawa ke sebuah gedung sekolah tua berkeliling pagar kawat berduri persis di seberang Jalan Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat. Di kamp konsentrasi itu, Martin mendapati ada 300 lebih orang yang bernasib sama dengannya.

Siksaan dalam berbagai cara menimpa Martin setiap kali dia menjalani interogasi di Markas Komando Distrik Militer 0501. Interogasi kerap dilakukan tengah malam. Hal itu pula yang membuat para tahanan menamakannya Operasi Kalong.

DPR Dukung Pemerintah

Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia pun sepakat dan mendukung langkah pemerintah untuk menolak rekomendasi IPT.

Ketua DPR Ade Komarudin berkata, Indonesia memiliki kedaulatan sendiri sehingga tidak wajib untuk menaati putusan tersebut.

"Karena kita tidak mengenal pengadilan semacam itu. Jadi, kita tidak ada kewajiban untuk jalankan putusan apapun," kata Ade di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (22/7).

Anggota Komisi III DPR Arsul Sani pun menegaskan, pemerintah tidak perlu melaksanakan putusan IPT. Menurutnya, putusan IPT bersifat tidak dapat dipaksakan (non-forcefully executable).
Sekretaris Jenderal PPP ini justru menyayangkan langkah para aktivis yang membawa isu ini ke dunia internasional. Apalagi, hanya Tragedi 1965 yang diangkat para aktivis dalam pengadilan tersebut.

"Mengapa tidak sekalian menuntut tanggung jawab Pemerintah Belanda dalam kasus kekejaman Westerling misalnya? Juga kenapa tidak mereka masukkan kasus-kasus HAM lainnya seperti peristiwa Tanjung Priok, Semanggi, dan lain-lain?" kata Arsul saat dihubungi.

Menurutnya langkah tersebut tidak bijak dan secara moral tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ia mengharapkan, agar pemerintah fokus dalam menuntaskan skema penyelesaian HAM berat masa lalu.

"Terlepas apakah jalan yang akan ditempuh adalah dengan proses peradilan atau dengan komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR)," ujarnya.

Wakil Ketua Komisi I DPR Hanafi Rais menambahkan, jika pemerintah satu suara dalam menolak menjalankan rekomendasi pengadilan tersebut, maka ruang intervensi dari negara asing akan tertutup.

"Tapi kalo dari pihak pemerintah sendiri ada yang memberi ruang untuk menjalankan rekomendasi IPT meminta maaf, ya itu yang bikin rawan intervensi," ucap Hanafi.
Hanafi mendukung pernyataan Presiden Joko Widodo saat Ramadhan lalu yang menegaskan tidak akan meminta maaf kepada PKI dalam peristiwa 1965.

"Dengan begitu saya kira masalah selesai. Kami dukung sikap Presiden yang tegas soal tidak akan minta maaf ini," kata Hanafi.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan juga menyatakan penolakannya menerima rekomenadsi Pengadilan IPT.

Ia berkata, Indonesia memiliki sistem hukum sendiri yang tidak dapat diintervensi negara asing dan lembaga asing.

"Mereka (IPT) kan bukan atasan kami. Indonesia punya sistem hukum sendiri. Saya tidak ingin orang lain mendikte bangsa ini," ujar Luhut di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu lalu.

Selain itu, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu juga meminta masyarakat Indonesia untuk tidak perlu menanggapi IPT 1965.

"Enggak usah didengarkan orang di sana. Kok dengerkan orang luar negeri? Orang luar negeri yang dengerkan Indonesia. Enggak usah dengerin, gombal itu," ucap Ryamizard.

Putusan akhir IPT 1965 menyebutkan Indonesia harus bertanggung jawab atas 10 tindakan kejahatan hak asasi manusia (HAM) berat pada tahun 1965 hingga 1966.

Ada tiga rekomendasi dari hasil putusan pengadilan rakyat ini. Pertama, Pemerintah Indonesia agar segera dan tanpa pengecualian, meminta maaf pada semua korban, penyintas, dan keluarga mereka atas tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh negara dan tindakan kejahatan lainnya yang dilakukan negara terkait peristiwa 1965.

Kedua, menyelidiki dan menuntut semua pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Ketiga, memastikan ada kompensasi yang setimpal dan upaya ganti rugi bagi semua korban dan penyintas. (rel)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER