Jusuf Kalla Sebut Penuntasan Tragedi 1965 Perberat APBN

Prima Gumilang | CNN Indonesia
Senin, 25 Jul 2016 20:27 WIB
Presiden Jokowi tidak memberikan tanggapan apapun terhadap pernyataan JK. Namun, kata Nurkholis, presiden menyatakan mendukung penyelesaian kasus Tragedi 1965.
Wakil Presiden RI Jusuf Kalla menyampaikan paparannya saat sosialisasi perdana amnesti pajak di depan Asosiasi Pengusaha Indonesia di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis, 21 Juli 2016. Menurut Komisioner Komnas HAM Nurkholis, JK pernah menyatakan bahwa penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk Tragedi 1965, akan memperberat APBN. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Presiden RI Jusuf Kalla pernah menyatakan bahwa penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk Tragedi 1965, akan memperberat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pernyataan JK tersebut diungkapkan oleh Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Nurkholis dalam pertemuan dengan korban Tragedi 1965 yang menyerahkan salinan putusan Pengadilan Rakyat Internasional atas Kejahatan Kemanusiaan (International People's Tribunal on Crimes Against Humanity, IPT) 1965.

"Pak JK sempat interupsi bahwa kalau nanti semuanya diungkap akan memberatkan APBN," kata Nurkholis di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Senin (25/7).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Nurkholis mengatakan, JK menyampaikan hal itu dalam sebuah pertemuan pada tahun lalu yang membahas aspek ekonomi dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat termasuk Tragedi 1965.
Pertemuan itu dihadiri langsung oleh Presiden Joko Widodo dan beberapa pejabat pemerintahan, di antaranya Jaksa Agung Muhammad Prasetyo dan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan saat itu Tedjo Edhy Purdijatno.

Presiden Jokowi tidak memberikan tanggapan apapun terhadap pernyataan JK. Namun, kata Nurkholis, presiden menyatakan mendukung penyelesaian kasus Tragedi 1965.

"Kami juga berpikir, kalau nanti prosesnya apakah pengadilan atau rehabilitasi melalui pengungkapan kebenaran maka hal-hal yang demikian memang tidak terelakkan," katanya.

Dari hal itu, Nurkholis mempertanyakan apakah pemerintah mampu mengembalikan hak-hak keperdataan para korban. Pasalnya, pelanggaran hak keperdataan itu hampir merata terjadi di desa-desa maupun di kota besar.
Nurkholis memberikan salah satu contoh, kantor PKI di Jalan Kramat Raya, Jakarta yang status hukumnya harus diperjelas. Sementara di desa, banyak tanah milik korban telah dirampas oleh negara.

"Ada transformasi kepemilikan dari yang dikalahkan, apakah itu pengurus/petinggi PKI atau bukan, kepada komponen yang pada waktu itu mengendalikan kekuasaan," katanya.

Koordinator IPT 1965 Nursyahbani Katjasungkana mengatakan selama ini pihaknya bersama korban belum pernah memberikan tuntutan ganti rugi dalam bentuk uang. Dia mengatakan, pemerintah Indonesia perlu belajar dari negara lain yang pernah menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalunya, seperti Kamboja.

"Yang terpenting menghentikan persekusi. Masak korban mengadakan arisan saja sudah dikejar-kejar," katanya.
Hari ini Yayasan IPT 1965 didampingi para korban menyerahkan salinan putusan Pengadilan Rakyat Internasional atas Kejahatan Kemanusiaan 1965 kepada Komnas HAM. Secara simbolik, hasil putusan itu diterima Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat.

Hakim Ketua dalam Pengadilan Rakyat Internasional atas Kejahatan Kemanusiaan 1965, Zak Yacoob telah memutuskan bahwa Indonesia bertanggung jawab atas genosida dan sembilan kejahatan terhadap kemanusian atas tragedi tersebut. (wis)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER