Jakarta, CNN Indonesia -- Koalisi masyarakat sipil menolak hukuman mati yang terdiri dari beberapa lembaga swadaya masyarakat menilai Kejaksaan Agung telah melaksanakan eksekusi mati secara ilegal terhadap empat terpidana mati pada Jumat dini hari lalu.
Menurut Direktur Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) Julius Ibrani, proses eksekusi mati kepada 14 terpidana tersebut sarat akan kejanggalan dalam pelaksanaannya. Kejanggalan itu, tutur Julius terkonfirmasai dengan adanya penundaan eksekusi 10 terpidana mati lain.
"Kami mengecam eksekusi mati ini karena banyak kejanggalan dalam pelaksanaannya. Jaksa Agung telah melakukan kesalahan fatal dengan menjalankan instruksi eksekusi mati ilegal pada empat terpidana Jumat kemarin," ujar Julius dalam konferensi pers di kantor YLBHI, Jakarya, Minggu (31/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Yulius, keputusan penundaan eksekusi mati terhadap sepuluh narapidana mati lainnya oleh Jaksa Agung merupakan keputusan yang tepat. Namun, tutur Yulius, keputusan penundaan pelaksanaan eksekusi mati ini seakan menunjukan bahwa pemerintah sendiri mengakui adanya kejanggalan-kejanggalan dalam kasus-kasus para narapidana tersebut.
Kejanggalan pelaksanaan eksekusi, menurut Julius, terlihat dengan ketidaksesuaian proses eksekusi dengan prosedur dan hukum yang ada. Salah satunya, jaksa eksekutor melalui perintah Jaksa Agung tetap melakukan eksekusi mati terhadap empat narapidana mati walaupun keempatnya masih dalam tahap mengajukan permohonan grasi.
Eksekusi mati tetap dilakukan Jumat dini hari pada Freddy Budiman (37 tahun), Michael Titus (34), Humprey Ejike (40), dan Cajetan Uchena Onyeworo Seck Osmane (34), walaupun keempatnya belum mendapatkan jawaban atas permohonan grasi mereka dari Presiden.
"Terpidana mati baru bisa dieksekusi setelah memegang surat Keputusan Presiden atas penolakan grasi mereka. Tapi nyatanya belum kan. Ini perbuatan melanggar hukum yang seharusnya tidak dilakukan pemerintah," kata Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitulu.
Menurut Erasmus, otoritas kejaksaan dan kepolisian juga membatasi segala informasi mengenai eksekusi mati baik kepada keluarga maupun kuasa hukum terpidana. Ia menyatakan, tidak ada daftar nama terpidana mati yang akan menjalani eksekusi secara resmi dari Jaksa Agung maupun kepolisian. Ini, tutur Erasmus, seperti membatasi hak-hak narapidana mati, salah satunya mengajukan pembelaan hukum yang tersedia.
Erasmus juga mengatakan, pemerintah dalam hal ini Kejaksaan Agung telah melanggar Undang-Undang tentang notifikasi eksekusi mati kepada narapidana. Sesuai dengan Undang-Undang Grasi dan Putusan Mahkamah Konstitusi No 107/Tahun 2015, setiap peringatan pelaksanaan eksekusi mati selambat-lambatnya dilakukan 3 kali 24 jam sebelum pelaksanaan.
"Nyatanya para terpidana mati diberikan notifikasi pada tanggal 26 Juli malam sehingga eksekusi harusnya dilakukan 29 Juli malam bukan dini hari," kata Erasmus.
Pendamping Rohani terpidana mati Seck Osmane, Pastor Rina, juga menyatakan penundaan eksekusi sepuluh terpidana tidak adil bagi empat terpidana yang telah dieksekusi terlebih dahulu pada Jumat kemarin.
Rina menyatakan, penundaan eksekusi mati juga seharusnya bisa dikenakan kepada keempat narapidana termasuk Seck Osmane. Menurutnya, keempat-belas terpidana mati ini memiliki hak yang sama untuk ditunda proses eksekusinya karena sama-sama sedang dalam proses mengajukan permohonan grasi dan juga belum begitu jelas penuntasan kasus-kasusnya.
Sehingga, menurut Rina, eksekusi mati yang dilakukan kemarin belum memiliki dasar hukum yang jelas dan tidak adil bagi para terpidana maupun keluarganya. "Negara sepertinya lebih baik kehilangan nyawa daripada kehilangan muka. Saya tidak tahu dasar pemerintah melakukan eksekusi hanya pada empat terpidana tersebut," kata Rina.
Lebih lanjut, Koalisi masyarakat sipil menolak hukuman mati mendesak Presiden membentuk tim independen guna melakukan peninjauan terhadap seluruh kasus terpidana mati sebelum melanjutkan proses eksekusi. Julius menyatakan, masih terdapat banyak pertanyaan dan penyelidikan yang belum tuntas dan memenuhi asas fair trial dalam penanganan kasus para terpidana mati tersebut.
Julius juga menyatakan, koalisi masyarakat sipil menolak hukuman mati yang terdiri dari YLBHI, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Migrant Care, Elsam, Masyarakat Peduli Peradilan Indonesia (MaPPI FH UI) mendesak presiden untuk memgambil langkah moratorium pelaksanaan eksekusi mati dan menelaah secara serius permohonan grasi yang diajukan para terpidana mati.
"Kami juga meminta Presiden untuk segera mencopot Jaksa Agung atas kinerja buruk dan kesalahan fatal dalam kinerja atas instruksi menjalankan eksekusi mati ilegal pada keempat terpidana mati," tambahnya.
(pit)