Jakarta, CNN Indonesia -- Kejaksaan Agung menyebut desakan masyarakat sebagai alasan penundaan eksekusi sepuluh terpidana mati, Jumat lalu. Di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, pekan lalu, eksekusi dilakukan terhadap empat dari 14 terpidana.
Jaksa Agung Muda bidang Pidana Umum, Noor Rachmad, mengistilahkan desakan masyarakat itu sebagai faktor non-yuridis.
"Banyak faktor yang kami pertimbangkan, teknis serta non teknis. Yang namanya hidup bermasyarakat, kami mendengarkan aspirasi masyarakat. Kami harus merespon itu," ujar Noor di Jakarta, Selasa (2/8).
Noor membantah isu yang menyebut eksekusi terhadap 10 terpidana mati ditunda akibat desakan Presiden Joko Widodo. Ia berkata, Jokowi tidak mengintervensi kewenangan Kejagung itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Noor juga tidak secara tegas menjawab tentang pengaruh surat terbuka Presiden ketiga Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie.
"Kami akan perhatikan semua elemen masyarakat yang membuat laporan. Terlebih (saran) dari orang-orang yang harus didengar informasinya," kata dia.
Lebih dari itu, Noor enggan memaparkan waktu pelaksanaan eksekusi mati selanjutnya. Ia hanya berkata, eksekusi itu akan memanfaatkan anggaran yang telah tersedia dalam APBN 2016.
Para terpidana mati yang lolos dari eksekusi Jumat dini hari lalu adalah Merry Utami, Pujo Lestari dan Agus Hadi.
Selain tiga warga negara Indonesia itu, terdapat tujuh warga asing, yakni Zulfiqar Ali (Pakistan), Gurdip Singh (India), Onkonkwo Nonso Kingsley (Nigeria), Obina Nwajagu (Nigeria), Ozias Sibanda (Zimbabwe), Federik Luttar (Zimbabwe), dan Eugene Ape (Nigeria).
Sementara, empat terpidana mati yang dieksekusi adalah Fredi Budiman (37 tahun), Michael Titus Igweh (34), Humprey Ejike (40), dan Cajetan Uchena Onyeworo Seck Osmane (34).
(abm)