Jakarta, CNN Indonesia -- Pembangunan industri semen di sejumlah wilayah belakangan ini menimbulkan konflik di masyarakat. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menengarai konflik tersebut muncul karena pihak pengembang tidak melibatkan warga sekitar dalam proses pembangunannya.
Komisioner Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron mengatakan, masyarakat tidak dilibatkan terutama saat membuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Padahal, kata dia, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa proses pembuatan pabrik harus terbuka dan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan pabrik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Setelah menyusun AMDAL, pelaksana proyek masih harus mempublikasikan hasilnya ke masyarakat. Apabila sudah dilakukan, mestinya tak ada lagi konflik antara masyarakat dengan pelaksana proyek," kata Nurkhoiron saat memberikan keterangan di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Jumat (5/8).
Proses yang tidak partisipatif itu telah mengancam keberadaan kawasan ekosistem karst atau pegunungan kapur, serta merampas hak kesehatan dan lingkungan masyarakat sekitar.
Komnas HAM, kata Nurkhoiron, tak jarang menerima berbagai pengaduan dari masyarakat di sekitar proyek pembangunan yang merasa dirugikan.
"Konflik ini akan terus meningkat seiring naiknya kebutuhan semen untuk pembangunan proyek infrastruktur," Nurkhoiron menuturkan.
Salah satu yang disorot oleh Komnas HAM adalah konflik pembangunan pabrik PT Semen Indonesia di kawasan Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah.
Kawasan karst di Pegunungan Kendeng Utara, kata Nurkhoiron, memiliki sumber air yang biasa digunakan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari.
Apabila pembangunan industri semen tidak memperhatikan lingkungan sekitarnya, dikhawatirkan akan membuat masyarakat mengalami kekeringan.
Komnas HAM juga melihat ada tumpang tindih kebijakan dalam pengaturan kawasan karst. Salah satunya antara Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral dengan Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral hanya menjelaskan tentang penetapan kawasan bentang alam karst tanpa pernah benar-benar melakukan survei maupun pemetaan secara partisipatif pada masyarakat.
Di sisi lain, Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatur bahwa penetapan kawasan bentang alam karst harus memperhatikan ekosistem sekitarnya.
"Masing-masing peraturan menteri itu mencerminkan ego sektoral, memikirkan kepentingannya sendiri," kata Nurkhoiron.
Atas hal itu, Komnas HAM meminta agar pemerintah membuat regulasi atau lembaga khusus yang berwenang mengatur fungsi dan perlindungan ekosistem karst.
Terpusat di Pulau JawaDalam kesempatan yang sama, tim pemantauan ekosistem karst dari Komnas HAM, Mimin Dwi Hartono, mengakui bahwa pembangunan industri semen selama ini masih terpusat di Pulau Jawa.
Menurutnya hampir 80 persen ancaman kerusakan ekosistem karst terjadi akibat pembangunan industri semen yang terjadi di Pulau Jawa. Selain Rembang, sejumlah pengaduan juga datang dari beberapa daerah seperti Sukabumi, Jawa Barat dan Tuban, Jawa Timur.
"Pulau Jawa ini sudah semakin sempit dan padat. Banyak pembangunan pabrik, jalan tol, dan lainnya. Kalau ditambah hilangnya kawasan karst, ini akan mengancam kerusakan lingkungan yang luar biasa," ucapnya.
Luas kawasan karst di Pulau Jawa saat ini mencapai delapan persen dari seluruh daratan di Indonesia atau sekitar 154.000 kilometer persegi.
Namun baru empat kawasan atau hanya satu persen yang ditetapkan sebagai kawasan bentang alam karst, yakni di Gombong Selatan Jawa Tengah, Sukolilo Pati Jawa Tengah, Gunung Sewu yang terbentang dari kawasan Yogyakarta, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur, dan di Karawang Jawa Barat.
"Kami minta presiden agar fokus pembangunan industri semen di luar Pulau Jawa. Tapi jangan sampai melanggar hak asasi manusia," tutur Mimin.
(wis/wis)