Hakim Agung Artidjo Minta Korporasi Bisa Dijerat Pidana

Martahan Sohuturon & Kezia Simanjuntak | CNN Indonesia
Senin, 15 Agu 2016 18:52 WIB
Dalam beberapa kasus korupsi, korporasi kerap luput dari jerat hukum meski perusahaan itu disebut dalam dakwaan sebagai penerima aliran uang korupsi.
Ilustrasi. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Hakim Agung Artidjo Alkostar mengatakan, korporasi yang terlibat dalam kejahatan secara keseluruhan dan menerima aliran dana hasil kejahatan harus dijerat pidana. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana harus segera direvisi agar bisa menjerat korporasi yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

"KUHAP belum mewadahi banyak proses penegakan hukum. Termasuk seret korporasi," ucap Artidjo dalam sebuah diskusi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat pada Senin (15/8).

Artidjo menjelaskan, dalam beberapa kasus korupsi, korporasi kerap luput dari jeratan hukum. Padahal perusahaan terkait ikut disebut dalam dakwaan sebagai pihak penerima aliran dana dari hasil korupsi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kendalanya, belum ada dalam aturan. Surat dakwaan harus menyebutkan jenis kelamin, nama, dan umur. Korporasi tidak ada itu," ujarnya.

Berangkat dari hal itu, Artidjo menyampaikan, Mahkamah Agung tengah merancang sebuah peraturan yang bisa digunakan untuk menyeret korporasi ke pengadilan. Jika korporasi lolos, maka pejabat perusahaan lainnya yang tak dijerat tetap bisa menjalankan bisnis tersebut.

"Bahkan orang di penjara masih kendalikan korporasi," kata Artidjo.

Data Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada menyebutkan, korupsi oleh politikus dan sektor swasta mencapai 1.420 terpidana selama tahun 2001-2015. Lembaga itu menyatakan total nilai korupsi politikus dan swasta mencapai Rp50,1 triliun dalam periode tersebut sehingga pemberantasan korupsi di sektor swasta perlu direorientasi ulang.

Lembaga itu menjelaskan, hukuman finansial terhadap pihak swasta justru lebih rendah dibanding kerugian negara yang diakibatkan. Hal yang perlu diatur lebih lanjut adalah soal tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi di Indonesia yang beroperasi di luar negeri.

Korupsi yang dilakukan sektor swasta dilihat dari pelbagai kasus, seperti kasus di sektor kehutanan. Di antaranya adalah perusahaan yang diduga terlibat dalam kasus pembakaran hutan.

Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruki mengatakan, figur utama yang harus memiliki kemampuan itu adalah Presiden dan Mahkamah Agung.

"Kalau Presiden dan Mahkamah Agung punya kemampuan dan komitmen yang kuat, cukup dengan satu periode kepemimpinanan, korupsi akan habis," ujar Ruki.

Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Agus Anwar menyatakan, penegakan hukum di Indonesia ironis. Masing-masing institusi mempertahankan ego sektoral hingga menghambat masyarakat memperoleh haknya.

"Dari permasalahan yang muncul dari ego sektoral ini, akan terlihat fenomena yang akan meragukan penegakan hukum itu sendiri." ujar Agus.

Menurut Agus, masing-masing subsistem dari tingkat penyidikan hingga pengambilan keputusan hakim harus saling berkoordinasi dalam rangka menuju keadilan. Tetapi, justru ini yang diabaikan oleh lembaga penegak hukum.

Ego sektoral, lanjut Agus, dipicu kelompok penguasa dan kelompok oposisi. Kelompok penguasa lebih cenderung mengambil kebijakan yang akan menguntungkan pihaknya sedangkan kelompok oposisi akan protes dan melakukan apapun untuk menghalangi kebijakan yang dibuat penguasa. (rdk)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER