Jakarta, CNN Indonesia -- Seburam riwayat masa kecilnya, cerita akhir hidup Raden Mas Tirto Adhi Soerjo juga samar. Jejak perintis perlawanan lewat media massa itu hilang begitu saja, seolah tak pernah ada.
Dunia pers pribumi kehilangan ketokohan Tirto. Pada sekitar Juni 1915, Tirto disebut sudah berada di Batavia setelah dibuang ke Ambon pada tahun 1912-1913.
Cicit Tirto, Raden Mas Joko Prawoto Mulyadi atau biasa disapa Okky Tirto, menduga, buyutnya itu diamankan dalam sebuah operasi intelijen yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Menurut saya, Tirto Adhi Soerjo kena operasi intelijen karena merupakan orang yang paling berbahaya pada zamannya. Pemerintah kolonial Belanda menugaskan orang khusus untuk mengikuti Tirto,
ngapain saja dicatat,” kata Okky saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Jumat (19/8).
Operasi intelijen itu, tutur Okky, menjawab pertanyaan mengapa Tirto tak pernah lagi terlihat jejak penanya sekembalinya dari Ambon. Segala tuduhan yang dialamatkan kepada Tirto juga dianggap Okky sebagai bagian dari usaha menyingkirkan Bapak Pers Indonesia itu.
Orang khusus yang dimaksud Okky dikirim pemerintah kolonial Belanda mengikuti gerak-gerik Tirto adalah Penasihat Urusan Primbumi, yang salah satunya pernah dijabat DA Rinkes. Mengutip buku
Sang Pemula karya Pramoedya Ananta Toer, Rinkes memang memberi laporan secara rutin kepada Gubernur Jenderal AWF Idenburg tentang segala tindak tanduk Tirto bersama berkala Medan Prijaji kala itu.
Rinkes bukanlah yang pertama menjadi “mata-mata” pemerintah kolonial Belanda untuk mengawasi, melaporkan, dan “menyingkirkan” eksistensi Tirto di dunia pers pribumi.
“Dr C Snouck Hurgronje yang pertama-tama melakukannya pada 1902 tanpa maksud lebih jauh. Dr GAJ Hazeu meneruskan jejaknya. Sedang DA Rinkes telah memojokkannya secara sistematis antara 1912-1915,” tulis Pram.
Menurut Okky, tindakan yang dilakukan terhadap Tirto sama dengan terhadap Proklamator RI Soekarno di Wisma Yaso, Jakarta. “Dibikin patah arang, bagaimana caranya bikin orang ini rusak mentalnya,” ujar Okky.
Tindakan itu, lanjut Okky, masih ditambah lagi dengan pengkhianatan yang dilakukan orangnya sendiri. Tak bisa dideskripsikan bagaimana luka hati Tirto yang sepulang dari pembuangan, mengetahui bahwa koleganya sendiri mengkhianatinya.
Tirto yang hancur dan ditinggalkan, bahkan hingga akhir hayatnya hanya ditemani iring-iringan sangat kecil menuju tempat peristirahatan, memang menjadi misteri juga bagi keluarga dan keturunannya. Okky bahkan sebelumnya baru mengenal benar-benar buyutnya tahun 2004.
Ayah Okky, RM Dicky Permadi Priatman—cucu Tirto dari putra sulungnya RM Priatman—meminta Okky tak berbicara tentang Tirto sebelum membaca buku Pram. Tak dapat disangkal, Pram-lah yang mengingatkan Okky juga wartawan di generasi-generasi setelahnya tentang Tirto.
“Saya tahu Tirto buyut saya, tapi sudah sampai di situ saja. Saya enggak tahu Tirto berbahaya di masanya, sampai tahun 2004. Bahkan teman kuliah saya sudah tahu Tirto saat itu,” tutur Okky.
Hal senada disampaikan cicit Tirto lainnya, RM Maulana Rizky Prabowo Adhi Soerjo. Menurut Adhi, jejak paling terang tentang buyutnya terpampang dalam
Sang Pemula.“Lebih dari itu, kami enggak tahu. Termasuk siapa nama Ibu Tirto. Kami punya silsilah keluarga, itu panjang sekali,” kata Adhi saat berbincang dengan CNNIndonesia, Jumat (19/8).
Tirto bisa jadi didiamkan dalam operasi intelijen pemerintah kolonial sejak tahun 1912 hingga tutup usia pada 7 Desember 1918. Namun jejak karya jurnalistiknya, termasuk keberanian dan perlawanannya terhadap ketidakadilan masih membekas hingga kini.
Berkala-berkala mingguan yang dimulakan Tirto telah beranak pinak menjadi beragam media mulai televisi, cetak, hingga media
online meneruskan kiprah Tirto, di antaranya melawan kesewenang-wenangan.
(rdk/asa)