-- Bupati Rembang Raden Adipati Djojodiningrat diberitakan melakukan penyalahgunaan kekuasaan, sebagian disebut dilakukan bekerja sama dengan Patih Rembang Raden Notowidjojo. Pada bulan yang sama, sang bupati meninggal dunia karena serangan jantung.
Pemberitaan mengenai Bupati Rembang dimuat dalam surat kabar Medan Prijaji (MP) yang terbit pada 17 Mei 1911. Artikel ini menjadi salah satu dari rentetan peristiwa yang membuat MP harus ditutup secara dramatis pada hari ini, 22 Agustus, 104 tahun silam.
karya Pramoedya Ananta Toer—diawali oleh publikasi yang tidak menguntungkan oleh dua surat kabar berbahasa Jawa di Jawa Tengah. Meski sebenarnya, artikel dalam berbagai terbitan juga tidak menguntungkan bagi Bupati Rembang saat itu, bukan hanya yang diulas MP.
Beberapa peristiwa lain yang membuat MP gulung tikar adalah sejumlah perusahaan besar mendadak membatalkan iklan serta para finansir Eropa menolak memberi kredit. Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan besar di benak Pram yang belum terjawab dalam
.
MP pertama kali terbit pada 1 Januari 1907, digagas dan dipimpin oleh Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Sebelum menggagas MP, Tirto sudah tercatat sebagai wartawan di surat kabar Soenda Berita.
Saat krisis finansial melanda Soenda Berita, Tirto melakukan perjalanan panjang ke sejumlah daerah untuk menemui raja-raja di luar Jawa, Madura, termasuk menyambangi Maluku dan menemui Sultan Bacan Mohammad Sadik Sjah (1862-1889).
Perjalanan panjang itu dilakukan periode 1905-1906. Dalam MP Tahun III, 1909, berjudul
, Tirto menceritakan perjalanannya menjadi cikal bakal berdirinya MP.
Ketika kembali ke Batavia, Tirto berembuk dengan empat orang yaitu Kepala Jaksa Batavia Raden Mas Prawirodiningrat, Komandan Distrik Tanah Abang Taidji’in Moehandjilin, Komandan Distrik Manggabesar Tamrin Mohamad Tabri, serta Komandan Distrik Penjaringan Bahram.
Pertemuan itu dilakukan untuk membentuk Sarikat Prijaji. Rencana tersebut lantas disebarluaskan ke seluruh penjuru negeri melalui surat kabar Melayu di Hindia Olanda (Indonesia).
, disebutkan, Tirto menyebarkan seruan yang dimuat di media-media massa saat itu.
Seruan Tirto berbunyi, “Kita orang yang bertanda di bawah ini sudah ambil mufakat mendirikan satu perhimpunan antara priyayi-priyayi dan bangsawan Bumiputera, bernama: Sarikat Prijaji, bermula buat Betawi saja, akan nanti bercabang di antero tanah Hindia.”
Mengutip
Karya-Karya Lengkap Tirto, ada lima hal yang mendasari pembentukan Sarikat Prijaji, yaitu mendirikan rumah pemondokan di Betawi sebagai tempat bermalam siswa dan memastikan mereka memperoleh makanan; mendirikan sekolah dasar bagi mereka yang tak diterima di sekolah Belanda.
Alasan lain pendirian Sarikat Prijaji, memastikan para siswa melanjutkan studi agar bisa mendapat pekerjaan layak, memberikan beasiswa kepada siswa cerdas, dan membuat perpustakaan.
Tirto saat itu tahu betul bahwa sulit bagi masyarakat pribumi memperoleh pendidikan dan pekerjaan yang layak. Meski memiliki latar belakang sebagai bangsawan, Tirto merasakan kesusahan rakyat.
“Sengaja perhimpunan ini kita orang dirikan karena nyatalah pada masa sekarang ini susah buat memperoleh rezeki jika kurang pelajaran kami, teristimewa pengajaran bahasa Olanda perlu sekali buat memperoleh pekerjaan yang pantas,” kata Tirto, mengutip sumber yang sama.
Hasil urun rembuk Tirto dengan empat orang tersebut adalah, pembiayaan Sarikat Prijaji akan disokong oleh dana dari pendaftaran masing-masing anggota sebesar f10, kontribusi anggota f0,50, sumbangan pihak lain, dan dari pembayaran uang sekolah dasar yang dibangun Sarikat, serta pembayaran makan, pemondokan, serta produk-produk buatan anak negeri.
Simbol “f” atau bisa juga disebut “fl” berarti guilder Belanda yang berasal dari mata uang lama yaitu florijn. Sebagai wilayah jajahan, mata uang Hindia Belanda menggunakan gulden atau biasa disingkat dengan simbol tersebut.
Setelah publikasi yang masif, lebih dari 700 orang dari seluruh Hindia Olanda menjadi anggota Sarikat Prijaji, bahkan seorang bupati memberi sumbangan f1.000.
Bupati juga sekaligus memberi nasihat, “Perhimpunan ini mesti mempunya surat kabar sendiri. Uang itu kalau dirasa perlu boleh digunakan buat membelanjai surat kabar itu karena jika menunggu perhimpunan berdiri, tentu lambat sekali.”
Menurut bupati, surat kabar yang dia maksud harus dibuat melebihi Soenda Berita dan harus memuat berita politik. Nasihat bupati itu mendapat dukungan dari banyak pihak.
Semakin lama, semakin banyak desakan untuk menerbitkan surat kabar dan mereka menyanggupi untuk menjadi pelanggan tetap. Maka, terbitlah MP pada 1 Januari 1907—dicetak di percetakan Khong Tjeng Bie di Pancoran, Betawi.
Uang sumbangan f1.000 tidak cukup untuk membiayai percetakan MP sehingga dewan redaksi harus juga merogoh kocek sendiri. Dalam artikel
Pendahoeloean M.P. Taoen 1909, Tirto menyebut angka kurang lebih f7.500 yang dihabiskan sejak beridirnya MP dua tahun sebelumnya.
Mengutip Sang Pemula, di antara para dermawan yang memberi donasi besar adalah Bupati Cianjur Raden Adipati Aria Prawiradiredja sebesar f1.000 dan ipar Tirto, Pangeran Oesman Sjah—memerintah Pulau Bacan, Maluku, mulai tahun 1900—memberikan f500.
Prawiradiredja menjadi bupati pada 24 Agustus 1864 dan menjabat paling lama di daerah Pasundan. Dia dikenal sebagai hartawan besar dan suka menolong orang tanpa memandang bangsa.
Gajinya sebagai bupati lebih besar di antara semua bupati di seluruh Jawa dan Madura yaitu f3.000 per bulan. Dialah yang menyarankan Tirto menerbitkan surat kabar melebihi Soenda Berita.
Medan Prijaji mengusung delapan asas yang dimuat pada halaman muka edisi pertama, di antaranya menjadi penyuluh keadilan, memberi bantuan hukum, dan tempat orang tersia-sia mengadukan haknya.
Dari asas tersebut, sebuah jargon yang dianggap sangat berani pada masa itu melekat bersama setiap edisi MP: suara bagi sekalian raja, bangsawan asli dan pikiran, priyayi dan saudagar bumiputera dan officer, serta saudagar dari bangsa yang terperintah lainnya yang dipersamakan dengan anak negeri di seluruh Hindia Belanda.
Menurut Pram, konsep penjualan koran yang ditawarkan Tirto terbilang unik. Mereka yang menyatakan bersedia menjadi pelanggan MP diminta membayar lebih dahulu uang langganan satu kuartal, setengah tahun atau satu tahun penuh, yang dianggap Tirto sebagai saham perusahaan.
Gagasan ini, lanjut Pram, tak lain dari menggunakan dana masyarakat dalam berniaga sehingga tidak perlu mengeluarkan modal sendiri. “Pada masanya, langkah yang diambilnya dengan berani itu merupakan sesuatu yang sama sekali baru,” kata Pram. Mendapat dukungan dari 700 anggota serta f1.500 dari bupati dan pangeran, tak membuat penerbitan surat kabar MP berjalan mulus. Belum lagi satu tahun koran itu beredar luas di Batavia, MP tenggelam dalam utang sebesar lebih dari tujuh kali lipat modal pokok.
Iklan yang masuk terlampau sedikit. “Namun biang keladi kesulitan keuangan adalah terlalu besar napsu Tirto Adhi Soerjo untuk memajukan bangsanya dengan secepat mungkin melalui daya cetak,” tulis Pram.
Situasi itu dapat dikendalikan ketika seorang pengusaha pribumi bernama Mohammad Arsad datang menawarkan kerja sama. Arsad memiliki perusahaan dagang atau Naamloze Vennotschap (NV) HM Arsad & Co yang memperdagangkan kayu dari Sumatera dan Kalimantan ke Jawa.
Dikutip dari
Karya-Karya Lengkap Tirto, pada 30 November 1908, Tirto bersama Pangeran Oesman dan Arsad mendatangi notaris Marien John Smissaert di Betawi untuk membuat MP menjadi NV berbadan hukum.
NV tersebut mendapat pengesahan dari pemerintah pada 10 Desember 1908 dan namanya berubah menjadi NV Javasche Boekhandel en Drukkerij en Handel in Schrijfbohoeften Medan Prijaji atau disingkat NV Medan Prijaji.
“Inilah NV Bumiputera sekaligus NV pers Indonesia pertama dengan modal f75.000, terbagi atas 3 ribu lembar saham,” seperti ditulis dalam buku milik Iswara dan Muhidin.
Pada awal terbit, MP merupakan surat kabar mingguan sederhana berukuran 12,5 x 19,5 cm, setebal 22 halaman. Koran ini memiliki sejumlah rubrik tetap yaitu mutasi pegawai negeri, salinan lembaran negara dan lampirannya, surat-surat masuk dan jawabannya, cerita bersambung, serta pemberian bantuan hukum bagi publik.
Surat-surat masuk dan jawabannya, berikut pemberian bantuan hukum bagi publik, menjadi alasan nama MP meroket. Sejumlah surat pembaca yang diterima MP biasanya berupa dukungan bagi Tirto atau kritik terhadap pemerintah.
MP memang bukan surat kabar pertama milik orang Indonesia asli karena pelopor jurnalisme pribumi telah dilakukan Tirto lebih dulu melalui Soenda Berita. Koran ini terbit pertama kali pada 7 Februari 1903, merupakan koran pertama orang Indonesia, dimodali dan diisi oleh tenaga Bumiputera, dan tak lagi menjadi bawahan bangsa lain.
Soenda Berita disebut sebagai tonggak sejarah pers nasional. “Tirto menamai Soenda Berita dengan ‘kepoenjaan kami Priboemi’,” mengutip buku
Karya-Karya Lengkap Tirto.
Soenda Berita diterbitkan dari Cianjur hingga pindah ke Batavia dengan mendapat bantuan dana dari Prawiradiredja—penyokong dana juga bagi Medan Prijaji. Bersama Soenda Berita, Tirto ingin memadukan perdagangan dan pers untuk kemajuan rakyat.
Kiprah Soenda Berita hanya berlangsung sekitar tiga tahun sebelum akhirnya ditinggal Tirto melakukan perjalanan panjang, mengalami kesulitan keuangan, hingga akhirnya ditutup.
Dalam terbitan Nomor 9, Tahun II, 1 Mei 1904, Tirto menulis, “Perhatikanlah! Beberapa kuitansi pos, penagihan dari bulan September, Oktober 1903, dan Februari 1904 besarnya f2,60 sudah kembali, sebagian minta waktu, sebagian tidak ada kabar dari yang ditagih. Sudilah setelah membaca ini, lantas kirim itu uang f2,60 kepada kami, supaya Soenda Berita jangan selalu ditimpa kerugian.”
Meski bukan surat kabar pertama milik orang Indonesia, Pram menyebut MP “lain dari yang lain.”
Iswara dan Muhidin mengatakan, lebih dari Soenda Berita—yang cenderung berperan sebagai luapan otak dan pemikiran Tirto dengan sesekali memberikan cubitan kepada aparat kolonial—MP lebih meresapi lakon sebagai medan bertarung Tirto membela rakyat dari penindasan dan tujuannya tidak main-main. Pada paruh kedua tahun 1909, Medan Prijaji tidak lagi menggunakan format kecil dan berubah dari mingguan menjadi harian. Percetakan pun berpindah ke Nix di Jalan Naripan Nomor 1, Bandung.
Dengan wajah baru, MP menjadi harian pertama milik pribumi. Periode 1909-1911 disebut sebagai masa jaya MP lantaran berani membongkar skandal yang melibatkan pejabat. Pada periode itu, Tirto dibuang ke Telukbetung setelah divonis bersalah dalam kasus melawan Calon Pengawas Purworejo A Simon.
Pembuangan ke Telukbetung, mengutip Pram, tidak merusak nama Tirto maupun kedigdayaan MP. Hingga 1909, jumlah orang yang telah bebas atas bantuan Tirto melalui MP maupun bantuan hukum adalah sebanyak 225 orang.
Mereka yang dibantu datang dari berbagai kalangan, mulai penjual ikan di pasar, bekas pejuang Aceh, hingga bupati dan sultan. Firma hukum yang dinaungi MP juga menggugat sejumlah pihak yang dinilai menindas dan menyalahi aturan, di antaranya Residen Bali dan Patih Bandung.
Sejumlah surat berupa kritik kepada pemerintah, dimuat MP tanpa rasa takut. Salah satunya berjudul Surat Kiriman yang Harus Diperhatikan Pemerintah.
Surat pembaca itu meminta kenaikan pangkat dan gaji bagi para maupun guru bantu yang sudah mengabdi selama lebih dari 20 tahun. Tiras MP sebagai harian melonjak mencapa 2 ribu eksemplar dengan iklan yang tidak berkurang.
Cerita bersambung Hikayat Siti Mariah—belakangan disebut sebagai satu-satunya karya sastra pra-Indonesia—milik jurnalis dan pengarang Hadji Moekti ikut andil dalam memukau pembaca MP. Hikayat itu dimuat MP mulai 7 November 1910-6 Januari 1912.
Namun masa keemasan MP menemui akhirnya. Konsep jurnalisme advokasi yang diusung Tirto bersama MP terhenti setelah bertubi-tubi serangan yang datang merugikan keberlanjutan surat kabar itu.
Berdasarkan laporan Ajun Penasihat untuk Urusan Pribumi Dr DA Rinkes kepada Gubernur Jenderal AWF Idenburg, 19 Februari 1912, penjualan saham MP dengan cara menjadikan pelanggan sebagai pemegang saham hasilnya sangat tidak banyak. Terlebih lagi karena saham itu bisa diperoleh dengan cara mencicil.
“Dan pemilik saham tersebut setelah mencicil dua tiga kali lupa meneruskan,” tulis Rinkes—yang ditugaskan pemerintah kolonial mengawasi gerak-gerik Tirto.
Puncak senjakala itu terjadi ketika NV Medan Prijaji dinyatakan pailit dan Tirto tenggelam dalam utang yang tak dapat dia bayar. Para pemberi utang menggugat dan menyandera Tirto.
Persidangan 17 Desember 1912 menyatakan, Tirto bersalah dan dijatuhi hukuman buang selama enam bulan dengan kewajiban membayar biaya persidangan.
“Dalam tahun 1912, atau tahun terakhir hidupnya, MP bertaburan dengan serangan, seakan mengisyaratkan datangnya ajal,” tulis Pram.
Hingga akhirnya MP resmi ditutup pada 22 Agustus 1912, Tirto disandera, sampai akhirnya menjalani hukuman buang.
Mengutip pernyataan Tirto, “Saya seorang pengawal pikiran umum, yang berkewajiban membicara segala hal yang patut diketahui oleh orang banyak akan guna orang banyak serta menunjuk segala keadaan yang tidak layak akan kegunaan umum dalam surat kabar dengan tidak harus menerima sesuatu apa.”