MK Tolak Gugatan Keluarga Korban Tragedi Mei 1998

Priska Sari Pratiwi | CNN Indonesia
Rabu, 24 Agu 2016 04:56 WIB
Ketidakpastian hukum di UU Pengadilan Hak Asasi Manusia bukan dari ketentuan pasal tapi karena penerapan praktik dan norma di lapangan.
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)
Jakarta, CNN Indonesia -- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

"Menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat seperti dikutip dalam amar putusan di web MK, kemarin.

Penggugat adalah keluarga korban tragedi Mei 1998 yakni Paian Siahaan dan Yati Ruyati. Keduanya mengajukan uji materi pasal 20 ayat 3 UU Pengadilan HAM.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketentuan dalam pasal tersebut dianggap pemohon membuat ketidakpastian hukum atas peristiwa pelanggaran HAM yang pernah terjadi.
Dalam pasal tersebut dijelaskan, apabila hasil penyelidikan kurang lengkap, maka penyelidik segera mengembalikan pada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dalam waktu 30 hari sejak tanggal diterima hasil penyelidikan.

Pemohon melalui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menyerahkan hasil penyelidikan kepada jaksa agung sebagai penyidik sejak tahun 2002.

Berkas itu berulang kali dikembalikan oleh jaksa agung ke Komnas HAM karena dianggap tak lengkap. Namun hingga kini hasil penyelidikan itu tak kunjung ditindaklanjuti.

MK menilai penyebab ketidakpastian hukum yang dialami pemohon, bukan berasal dari ketentuan pasal, namun karena penerapan praktik dan norma yang terjadi di lapangan.

MK juga tidak melihat adanya perlakuan diskriminatif dalam pasal tersebut seperti yang didalilkan oleh pemohon.

Dalam pasal 1 angka 3 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, menyatakan diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia di antaranya atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, dan lainnya.

"Sehingga pasal 20 ayat 3 maupun penjelasannya tidak memuat materi semacam itu," kata hakim Arief.

Meski demikian, majelis hakim tetap melihat adanya ketidakpastian hukum yang timbul karena perbedaan pendapat antara Komnas HAM sebagai penyelidik dengan jaksa agung sebagai penyidik.
Majelis hakim pun memberikan catatan pada pembentuk UU untuk melengkapi ketentuan dalam pasal tersebut dengan mengatur penyelesaian apabila terjadi perbedaan pendapat antara penyelidik dengan penyidik.

Kemudian diperlukan juga penyelesaian apabila dalam tenggang waktu 30 hari penyidik tidak dapat mengembalikan berkas pada penyelidik.

Dari rilis yang diterima CNNIndonesia.com, dijelaskan bahwa Paian Siahaan adalah ayah dari Ucok Munandar Siahaan, korban penghilangan paksa dan penculikan aktivis pada tahun 1998. Sementara Yati Ruyati adalah ibu dari Eten Karyana yang merupakan salah satu korban peristiwa Mei 1998.

Komnas HAM telah menyerahkan tujuh berkas perkara penyelidikan kepada jaksa agung untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan sejak tahun 2002. Namun hingga saat ini jaksa agung belum menindaklanjuti perkara pelanggaran HAM tersebut. (rel)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER