Jakarta, CNN Indonesia -- Di tengah semakin meningginya tensi politik ibu kota mendekati masa pendaftaran pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, isu barter kekuasaan menyeruak di tataran elite. Kuatnya kesan barter politik di balik dukungan kepada para kandidat memunculkan tarik ulur manuver politik berkepanjangan yang menguras energi begitu besar, termasuk yang tersedot dari publik.
Sinyalemen adanya barter politik begitu kentara mewarnai rentetan proses penentuan calon-calon yang bakal diusung dan didukung. Partai-partai politik yang memiliki kursi di DPRD DKI Jakarta masih terus berhitung, utamanya PDI Perjuangan sebagai suatu poros politik yang memiliki kekuatan terbesar dalam perebutan kursi gubernur.
Namun bukan perkara mudah bagi PDIP untuk memutuskan siapa calon yang bakal diusung meski partai “tua” itu bisa mengusung calonnya sendiri. Bahkan enam partai juga sudah menegaskan bakal memberikan dukungan suara bila PDIP memutuskan mengusung kadernya yakni Tri Rismaharini untuk melawan petahana Gubernur DKI Jalarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang sudah resmi didukung tiga partai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belum juga diputuskan calon yang akan diusung PDIP —dalam hal ini oleh ketua umumnya Megawati Soekarnoputri— menunjukkan sedemikian alotnya tarik-menarik kepentingan yang terjadi. Tak hanya di tingkat provinsi, tarik-menarik kepentingan atau pun kompensasi bagi-bagi kekuasaan disebut-sebut juga menembus batas ke level nasional. Maklum, pertarungan partai-partai politik di pilkada Jakarta bagi sebagian elite dianggap sebagai miniatur dari potret perebutan kekuasaan di ajang Pemilihan Umum 2019 nanti.
Sulitnya PDIP dalam menentukan pilihan calon yang akan diusung juga tak bisa dilepaskan dari derasnya dukungan kepada Risma. Persoalan lantas muncul ketika Risma yang juga menjabat wali kota Surabaya berkali-kali menunjukkan sikap penolakan untuk diboyong ke Jakarta. Sejauh ini Risma dinilai sebagai satu-satunya figur yang mampu untuk mengimbangi melawan Ahok.
Perebutan kursi gubernur Jakarta 2017 memang tidak bisa disamakan dengan pilkada Jakarta 2012. Ketika itu Joko Widodo yang hanya diusung oleh kekuatan dua partai yakni PDIP dan Gerindra mampu menumbangkan petahana Fauzi Bowo. Kini, peta dan kekuatan politik sudah berubah. Sosok Ahok sebagai
incumbent juga berbeda dibanding Fauzi Bowo. Secara figur personal, Ahok memiliki daya saing dan daya jual sangat besar yang menempatkan dirinya pada posisi tawar yang tinggi. Termasuk di antaranya jika adanya barter suatu kekuasaan.
Adalah hal yang dianggap lazim, barter politik tak hanya terjadi dalam pencalonan kepala daerah. Dalam panggung politik yang berbeda, seperti masuknya Golkar dan PAN dalam koalisi pemerintahan Presiden Jokowi juga disertai pertimbangan soal barter jatah menteri di kabinet.
Elite PDIP Ahmad Basarah menyebut bahwa berbicara tentang kerja sama politik memang harus ada take and give. Ketika ada suatu dukungan yang diberikan maka si penerima dukungan juga bakal memberikan suatu dukungan kepada pemberi dukungan. Konsesi politik seakan menjadi hal yang absurd untuk tidak dilakukan.
Namun sejauh ini sinyalemen barter politik —yang oleh sebagian politisi juga dibahasakan sebagai dinamika politik— tampak belum mulus antara PDIP dengan dengan poros Ahok. Gelombang tekanan baik dari internal maupun eksternal PDIP kepada Megawati agar memilih Risma bukan mendukung Ahok, masih terus kencang. Digaungkannya dukungan terhadap Risma juga dianggap bisa untuk menjebol berbagai sekat kepentingan, baik itu pribadi maupun kelompok.
Perancangan “kesepakatan-kesepakatan” tertentu yang menjadi bagian dari suatu barter politik yang tidak berpihak atau bertujuan kepada kepentingan masyarakat luas diakui oleh Ketua Bidang Kehormatan DPP PDIP Komarudin Watubun bakal sangat merugikan rakyat. Apalagi jika disertai dengan politik uang maka sudah masuk dalam ranah tindak pidana, walaupun untuk bisa membuktikannya sangat-sangat sulit.
Bagaimana pun barter politik tentunya sulit untuk dihindari. Sejauh berorientasi utama pada kepentingan yang lebih luas, yakni masyarakat atau nasional, sah-sah saja. Bukan politik balas budi yang hanya mementingkan kelompok tertentu atau segelintir orang saja. Apa yang diminta partai tentu lebih dari sekadar penguasa ibu kota.
Tapi masalahnya di sini, bisakah barter kekuasaan yang dilakukan elite mengutamakan kepentingan rakyat di atas segalanya? Sebab, untuk membangun Jakarta dibutuhkan konsentrasi tinggi, fokus, dan totalitas pengabdian yang tentunya akan berat jika ada beban “utang” dalam barter politik di antara elite.
(obs)