Ketika Cintaku pada Indonesia Terbentur Paspor

Tiara Sutari | CNN Indonesia
Senin, 29 Agu 2016 08:43 WIB
Paras Tobias Thariq Hardmann amat Eropa. Tapi tunggu sampai dia bicara. Logat Betawi kental langsung terdengar. Sejak kecil, ia hobi makan kerak telor.
Tobias Thariq Hartmann, anak dari perkawinan campuran pasangan orang tua Jerman dan Indonesia. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia -- Wajah Tobias Thariq Hardmann ceria. Ia memegang dua bendera negara berbeda di tangannya. Tangan kanan menggenggam miniatur bendera Merah Putih, tangan kiri menggenggam bendera Jerman berwarna hitam merah kuning.

Dengan lantang, Tobias membacakan puisi tentang anak hasil perkawinan campuran. Tatapan Tobias sarat keyakinan, menyuarakan batinnya yang kadang merasa diperlakukan diskriminatif sebagai anak dari pasangan orang tua berbeda warga negara.

Ibu Tobias adalah warga negara Indonesia asal Jakarta, sedangkan ayahnya warga negara asing asal Jerman.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Seingatku, dari lahir aku tinggal di sini (Jakarta), tinggal di Indonesia," ucap Tobias di sela peringatan 'Satu Dasawarsa Disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia' di Kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, Kamis pekan lalu (25/8).

UU Kewarganegaraan RI mengatur bahwa anak yang dilahirkan pada dan setelah 1 Agustus 2006 dari pasangan warga Indonesia dan asing, atau dari pasangan WNI yang dilahirkan di negara lain yang memberikan kewarganegaraan pada anak tersebut, dapat mengajukan dan berhak menyandang kewarganegaraan ganda terbatas hingga berumur 18 tahun dan/atau belum menikah.

Setelah usia 18 tahun, anak-anak itu diberi masa tenggang selama tiga tahun oleh pemerintah Indonesia untuk memilih apakah hendak menjadi warga negara Indonesia atau asing.

Tobias kini 17 tahun, kurang setahun sebelum ia harus mulai menentukan pilihan akan menjadi warga negara Indonesia atau Jerman.

Pada usia emas masa remajanya itu, Tobias dianugerahi wajah rupawan dengan postur tubuh tinggi, tegap. Tinggi Tobias 180-an sentimeter, lebih tinggi dari standar kebanyakan remaja Indonesia. Sedikit bintik-bintik menghiasi pipinya, khas paras orang Eropa.

Secara keseluruhan, perawakan Tobias memperlihatkan betapa ras kaukasoid kental mengalir di tubuhnya. Sekilas saja, terlihat ciri fisik Tobias tak seperti ras mongoloid –ras mayoritas penduduk Indonesia.

Tapi, tunggu sampai Tobias berbicara. Logatnya amat Betawi. Di mata awam, dialek lokal Jakarta yang keluar dari mulut Tobias sungguh kontras dengan muka Eropanya.

"Aku bangga seperti ini. Di rumah kami, saya ngomong ya pakai bahasa Betawi, 'kagak', 'gue', 'elu', 'ape.' Sama teman juga begitu. Aku malah jarang ngomong (bahasa) Jerman," kata Tobias sembari melontarkan senyum renyah, ramah.
Tobi, sapaan akrab Tobias, mengatakan bangga tinggal di Indonesia dan lahir dari ibu berkewarganegaraan Indonesia.

Tobi lalu memamerkan kostum hitam-hitam khas jawara silat Betawi yang ia kenakan. Ia tahu banyak tentang budaya Betawi karena sang nenek kerap bercerita kepada ibunya.

Tobi hafal adat bertukar pantun Betawi, tahu roti buaya adalah simbol pengikat, bahkan bercerita kerak telor adalah makanan kesukaannya sedari kecil.

"Kerak telor sama pizza itu lebih enak kerak telor," ujarnya, tertawa berderai.

Di balik sikap cerianya, Tobi sedih lantaran beberapa tahun ke depan harus memutuskan akan menjadi warga negara Indonesia atau Jerman. Semula, kata Tobi, ia tak ambil pusing memiliki dua paspor. Tobi dulu tak mengerti bahwa dia menyandang kewarganegaraan ganda terbatas.

"Lalu Ibu bertanya, 'Kamu nanti mau (berkewarganegaraan) sama (dengan) papah atau ibu? Ibu bilang juga, 'Kalau pilih ini (Indonesia) baiknya begini dan buruknya begini, kalau pilih itu (Jerman) baik buruknya begini,'" kata Tobi.

Wajah Tobi sontak muram. Hilang sudah keceriaan yang ia perlihatkan ketika sedang bercerita tentang kebudayaan Betawi yang ia banggakan.

Tobi lantas bercerita pernah mengalami perlakuan tak menyenangkan, meski akhirnya dia memilih menganggap hal itu sebagai canda semata.

"Pernah waktu aku bikin SIM, dikataian 'Ngapain sih bule bikim SIM di sini, bukan balik aja ke negaranya, nyempit-nyempitin Jakarta.' Tapi petugasnya ketawa, jadi aku anggap saja itu becanda," kata dia.

Tobi mengaku sangat bingung dengan pilihan yang harus ia ambil tak lama lagi. Dia sadar dengan konsekuensi yang akan ia hadapi kelak ketika sudah memilih untuk hidup sebagai pemegang paspor dari negara ayah atau ibunya.

"Yang namanya pilihan itu ada baik buruknya, dua-duanya ada positif negatif. Kalau boleh aku ingin tetap pegang dua paspor saja, toh nasionalisme aku juga enggak berubah," kata dia, tersenyum.

[Gambas:Video CNN]

Riwayat UU Kewarganegaraan

Soal kewarganegaraan bukan hal baru di Indonesia. Ketika Indonesia baru merdeka, negara ini menganut kebijakan stelsel pasif yang diatur dalam UU Kewarganegaraan pertama Nomor 3 Tahun 1946. UU itu mengatur, keturunan asing diberi waktu dua tahun un­tuk memilih kewarganegaraannya. Bila menolak kewarganegara­an RI, mereka harus melapor. Jika tidak, secara otomatis WNA tersebut akan berstatus sebagai WNI.

Namun kebijakan stelsel pasif itu diganti setelah Konferensi Meja Bundar di Den Haag tahun 1949. Kebijakan kewarganegaran harus mengacu pada hukum Belanda, yaitu Nederlandsch Onderdaanschap van niet Nederlanders yang membagi penduduk dalam strata Kawula Belanda, Kawula Timur Asing, dan Kawu­la Pribumi.

Artinya, kebijakan tersebut secara hukum merupakan stelsel aktif, berkebalikan dengan aturan UU Kewarganegaraan sebelumnya Nomor 3 Tahun 1946. Warga negara asing jadi harus melapor jika ingin menjadi WNI.

Hingga beberapa dekade, terdapat kerancuan hukum bagi anak keturunan asing atau perkawinan campuran di Indonesia. Status mereka tak jelas karena tidak ada payung hukum yang mengatur kedudukan mereka sebagai warga negara, hingga kemudian terbit UU Nomor 12 Tahun 2006.

Ahli hukum tata negara Indonesia, Asep Warlan Yusuf, mengatakan perkembangan UU Kewarganegaraan di Indonesia sejauh ini terus mengalami kemajuan, dengan produk terbaru UU Nomor 12 Tahun 2006 yang mengatur status dwikewarganegaraan terbatas anak hasil perkawinan campuran.

"Anak-anak ini diberi hak dwikewarganegaraan terbatas. Pada umur 18 tahun, dia harus menentukan nasibnya mau ke mana (jadi warga negara apa), tapi dia diberi waktu berpikir sampai 21 tahun," kata Asep kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (27/8).

Sebelum pengesahan UU Nomor 12 Tahun 2006, ujar Asep, banyak anak-anak hasil perkawinan campuran yang sempat tak jelas kewarganegaraannya. Sekarang mereka bebas memegang dua paspor, baru kemudian pada usia yang matang diharuskan memilih salah satu.

"Untuk kasus Tobias, di satu sisi dia bangga menjadi Indonesia, tapi di sisi lain, paspor Jerman akan memberinya kemudahan akses dalam beberapa hal yang memang tak bisa didapat jika dia memegang paspor Indonesia. Oleh sebab itu tak salah juga muncul wacana untuk mengubah sistem kewarganegaraan tunggal di Indonesia menjadi dwikewarganegaraan," kata Asep.
Aturan apapun yang dibuat manusia, ujarnya, pasti memiliki sisi baik dan buruk, sehingga memerlukan penyempurnaan terus-menerus seiring perkembangan zaman.

Pada praktiknya, sistem kewarganegaraan tunggal atau ganda memiliki sisi positif maupun negatif. Kewarganegaraan tunggal misal dinilai menguntungkan karena rakyat yang hanya memiliki satu paspor dianggap akan sulit membelot dari negaranya.

Namun pemegang satu paspor, kata Asep, bisa jadi sulit untuk memperoleh pekerjaan di luar negeri karena dimarjinalkan, dianggap berasal dari negara "terbelakang." "Oleh sebab itu kadang orang akan memilih memegang paspor negara lain, karena memudahkan dia memperoleh akses-akses lain."

Dwikewarganegaraan pun bukannya tak mengandung masalah. Orang pemegang dua paspor dianggap lebih sulit diatur. Dia pun akan lebih repot jika hendak terlibat dalam urusan perpolitikan negara.

"Dengan kata lain, misalnya tak bisa jadi menteri," ujar Asep, menilik kasus pemberhentian Arcandra Tahar dari kursi Menteri ESDM lantaran memegang dua kewarganegaraan.

Pada akhirnya, semua aturan selalu memiliki dua sisi. Pemerintah mesti mengkaji baik-baik untung rugi dari kedua sisi itu. (obs/agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER