Jakarta, CNN Indonesia -- Ahli Hukum Tata Negara Refly Harun mendukung rencana pemerintah Indonesia menerapkan sistem dwikewarganegaraan. Namun, dia menegaskan harus ada batasan-batasan yang jelas dalam menerapkan sistem tersebut.
Pembatasan itu bisa mencontoh model dwikewarganegaraan yang diterapkan Amerika Serikat yang mengakui dua kewarganegaraan selama warga negara itu tidak menjadi pejabat publik di negara lain.
"Bisa saja mengadopsi Amerika Serikat, akan kehilangan kewarganegaraan kalau menjadi pejabat publik di luar negeri. Itu posisi strategis. Kalau jabatan privat tidak apa-apa," kata Refly saat dihubungi, Jumat (19/8).
Batasan lain bisa dengan membatasi penerapan dwikewarganegaraan (bipatride) hanya kepada keturunan Indonesia yang menjadi warga negara asing karena lahir dan tumbuh di luar negeri. Ini dapat diterapkan kepada orang yang salah satu orang tuanya berstatus WNI.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tetapi Refly menolak kepemilikan dua kewarganegaraan melalui naturalisasi.
Naturalisasi merupakan proses perubahan status dari penduduk asing menjadi warga negara suatu negara. Sejumlah persyaratan harus dipenuhi, termasuk pengucapan sumpah untuk menjadi warga negara tersebut.
Refly menilai naturalisasi bertentangan dengan Pasal 23 Undang-Undang Kewarganegaraan yang menyebut WNI akan kehilangan kewarganegaraannya jika memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya.
"Untuk kasus ini (WNA dari lahir) seharusnya kita mengakui dwikewarganegaraan. Kalau naturalisasi, saya tidak setuju. Dia dapat dengan kesadaran sendiri, maka bisa kehilangan," ucap dia.
Refly berpendapat, penerapan kebijakan dwikewarganegaraan akan menguntungkan Indonesia. Salah satunya adalah pemerintah dapat mengikat diaspora berprestasi yang banyak berada di luar negeri.
"Kita kehilangan orang-orang Indonesia berprestasi yang di luar negeri. Jika menerapkan dwikewarganegaran, kapan pun mereka bisa kembali (membantu negara)," tuturnya.
Pembatasan dalam penerapan dwikewarganegaraan diyakini Refly akan meminimalisir dampak negatif dari kebijakan itu. "Indonesia warga dunia, kita harus open minded jangan terlalu sempit memandang nasionalisme itu. Ukuran nasionalisme itu harus konkret," ucap dia.
Anggota komisi hukum DPR Arsul Sani sependapat dengan rencana penerapan kewarganegaraan ganda bagi diaspora. Namun, hal itu tetap memerlukan kajian DPR bersama pemerintah karena menyangkut revisi UU Kewarganegaraan.
"Ini menguntungkan karena tidak akan merepotkan diaspora kita kalau mau kembali ke Indonesia," kata Arsul di Kompleks DPR.
Wakil Presiden Jusuf Kalla sebelumnya mengatakan, pemerintah sedang mengkaji peluang revisi UU Kewarganegaraan. Dia menyatakan, arah kajian pemerintah saat ini adalah menerapkan sistem bipatride seperti di beberapa negara yang sudah terlebih dahulu menerapkan.
(wis/yul)