'Vonis Mati Bisa Diganti Penjara Seumur Hidup Tanpa Remisi'

Tiara Sutari | CNN Indonesia
Sabtu, 10 Sep 2016 08:00 WIB
Sistem peradilan di Indonesia belum bisa dikatakan layak sehingga tak pantas dan sangat berisiko jika tetap menerapkan hukuman mati.
Todung Mulya Lubis, salah satu pengacara terkemuka yang aktif menentang pelaksanaan hukuman mati. (REUTERS/Darren Whiteside)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pengacara senior sekaligus aktivis Hak Asasi Manusia Todung Mulya Lubis mengatakan, eksekusi mati terhadap terpidana kasus narkotik atau kejahatan luar biasa lainnya, tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku kriminal serupa.

Atas dasar itu, Todung meminta pemerintah mengganti vonis mati dengan sistem peradilan yang lebih manusiawi.

"Daripada eksekusi mati, lebih baik diganti dengan penjara seumur hidup tanpa remisi. Kok kejahatan dibalas kejahatan. Hukuman mati itu kejahatan, kan," kata Todung saat ditemui CNNIndonesia.com, di Jakarta, Jumat (9/9).
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), pada Kamis (8/9) merilis laporan perihal sejumlah pelanggaran peradilan yang dihadapi para terpidana mati. 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pelanggaran jaminan fair trial itu dialami, salah satunya oleh Yusman Telaumbanua asal Nias, yang divonis mati pada 2013. Pengacara Yusman yang seharusnya membantu, justru meminta kepada hakim agar kliennya dihukum mati. 

Menanggapi cerita-cerita semacam itu, Todung menyatakan perlu perbaikan sistem peradilan di Indonesia. Menurutnya, sistem hukum di Indonesia saat ini belum pantas memberikan vonis mati kepada terpidana kasus hukum dengan kejahatan luar biasa.

Todung menceritakan kasus peradilan yang dialami oleh terpidana mati kasus narkotik lainnya yaitu Rodrigo Muxfeldt Gularte yang telah dieksekusi pada 29 April 2015 lalu. 
Rodrigo diketahui mengidap gangguan mental berupa skizofrenia paranoid, namun tetap menjalani eksekusi setelah mendapat vonis pada tahun 2005.

Vonis tersebut melanggar aturan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 44 ayat 2 yang melarang eksekusi kepada pelaku yang pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit.

"Rodrigo divonis mental illnes sama dokter sana (Brasil) jadi dianggap tidak sah oleh hakim, dan dia tetap dieksekusi," tuturnya.

Atas kasus itu, ia meminta pemerintah mengkaji ulang kebijakan eksekusi terhadap terdakwa yang diduga melakukan tindak kejahatan luar biasa. 

"Rodrigo itu satu dari sekian banyak kasus penegak hukum yang maladministrasi. Kalau sudah eksekusi lalu mereka ini terbukti tidak bersalah, memang yang mati bisa hidup lagi? Enggak dong," kata Todung.

(wis/rdk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER