LAPORAN KHUSUS

Kereta Komuter, High Heels, dan Risiko Mati Cepat

Anggi Kusumadewi | CNN Indonesia
Rabu, 14 Sep 2016 14:01 WIB
Tiap kereta alami gangguan, antrean menumpuk di tiap stasiun. Para calon penumpang, dari yang berpakaian rapi hingga kasual, sekejap beringas saat kereta tiba.
Seorang penumpang perempuan Commuter Line mengenakan sandal high heels. (CNN Indonesia/Anggi Kusumadewi)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Seorang perempuan jatuh terduduk di peron. Ia mengernyit kesakitan. Bulir-bulir keringat muncul di dahinya, perlahan merambat jatuh ke pipi. Ia mulai menangis. Wajah jelitanya cepat basah. Peluh perih dan air mata jadi satu.

Tangan si perempuan terus memegangi kaki kirinya yang tertekuk. Tungkainya terkilir. Ia terjerembap, terdorong oleh padatnya manusia yang memenuhi gerbong kereta. Kadang malang memang tak dapat ditolak.

Maka kala orang-orang bergegas, perempuan berambut ikal panjang itu terus terduduk ngenas. Mata-mata mulai menatapnya. Sebagian dari mereka yang melintas di peron berhenti, mengulurkan tangan hendak memapahnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun gadis itu tak kuasa berdiri, sekalipun lengan-lengan orang berhati baik menyangga di kanan kiri tubuhnya. Ngilu di kaki tak tertahankan. Ia kembali ambruk.

Hal semacam itu adakalanya terjadi di stasiun-stasiun Jabodetabek yang dilintasi kereta rel listrik Commuter Line, setidaknya di lintasan Jakarta-Bogor yang saya akrabi.

Si gadis bukan korban pertama. Sama sekali tak istimewa. Terlebih jika kereta atau lintasannya mengalami gangguan.

Antrean menumpuk superpadat di tiap stasiun. Dari mereka yang berbusana rapi –beberapa lengkap dengan jas dan blazer-siap-rapat, sebagian lainnya berbatik cantik, sampai yang berpakaian kasual, sekejap beringas begitu kereta tiba.

Mereka berubah bak tentara Hades nan mengerikan. Siap bertempur demi mendapat satu tempat di gerbong kereta “neraka”.

Tubuh-tubuh bagai berganti mesin panser. Sikut, dorong. Semua berebut masuk. Siapa cepat, dia dapat. Sementara mereka yang telah lebih dulu berada dalam kereta harus siap bertahan. Terdorong, terimpit. Tulang beradu tulang.

Kepadatan penumpang di stasiun-stasiun di Jabodetabek bukan hanya pada hari kerja, tapi juga saat hari libur. (ANTARA/Aditya Pradana Putra)
Belum lagi oksigen dalam kereta menipis. Terlalu banyak orang. Penuh sesak. Pengap. Lupakan sirkulasi udara. Pendingin dan kipas pun jadi tak berguna. Kaca-kaca jendela kereta dibuka. Tak jarang mereka yang tak cukup kuat, lantas pingsan.

Pada situasi seperti itulah si gadis manis terdorong jatuh ketika ia melangkah keluar dari gerbong kereta. Tentu, selalu akan ada korban sepertinya.

Saya melihatnya dengan iba, mungkin sama seperti penumpang lain. Tergeletak di samping kaki perempuan itu, sepatu bersol tebal. Istilah kerennya wedges. Pada jenis sepatu ini, sol dibuat lebih tinggi (tebal) pada bagian belakang. Sol tebal semacam itu membuatnya juga berfungsi sebagai hak.

Maka seperti sepatu hak tinggi atau high heels, pemakai wedges otomatis akan bertambah tinggi beberapa sentimeter, sesuai tebal sol pada sepatunya.

Sepatu model itu memang bergaya, tapi mungkin tak cocok digunakan oleh penumpang kereta komuter yang harus siap setiap saat berubah menjadi “legiun bengis” kala kereta mengalami gangguan. Bagi sebagian perempuan, wedges bisa mengurangi kelincahan, dan menghambat gerak cepat.

Ingatan saya melayang ke beberapa tahun lalu, saat masih menjadi pengguna setia high heels. Sejak kuliah, saya penggila high heels. Hampir setiap waktu saya memakai high heels, dan itu berlangsung hingga saya bekerja menjadi reporter di media online.

Jangan khawatir, meski menggunakan high heels, saya bisa berlari cukup cepat, dan mengejar narasumber sampai mengadang tepat di depan wajahnya.

High heels –yang sempat saya lepas delapan bulan ketika mengandung– terus menjadi teman setia saya, sampai saya resmi menjadi bagian dari kaum komuter. Mulai saat itu, tiap hari saya ulang-alik Jakarta-Bogor dengan kereta rel listrik atau Commuter Line.
Semula saya tak menyadari ancaman high heels bagi penumpang kereta komuter. Sampai satu saat, ketika kereta berulah hingga menyebabkan penumpang berjejalan dalam gerbong, terjadilah musibah itu.

Saya kesulitan berpijak pada kondisi kereta padat manusia, dan akibatnya sepatu high heels saya menginjak kaki penumpang lain.

“Aww, sakit tahu!” kata seorang ibu, garang. Saya menoleh ke arahnya sambil mengucap maaf, namun matanya mendelik. Jelas sudah, maaf saya tak diterima.

Kaum hawa di kereta komuter memang terkenal jauh lebih “buas” dari kelompok adam, dan saat itu saya berada di gerbong khusus wanita. Amat celaka, bukan? Saya bisa jadi musuh bersama gara-gara high heels.

Meski yang saya pakai jenis kitten heel (hak rendah), bukan stiletto (hak tinggi), tetap saja saya salah karena sudah menginjak kaki si ibu. Sengaja atau tak sengaja jadi tak penting.

Insiden “menginjak kaki ibu sangar” di kereta selanjutnya diikuti prosesi dorong-mendorong di peron stasiun. Setiap kereta berhenti di satu stasiun, penumpang dan calon penumpang sama-sama mendorong.

Mereka yang hendak turun dari kereta, mendorong orang di depannya ke arah luar. Mereka yang akan naik, mendorong orang di pintu kereta –yang hendak turun– kembali ke dalam gerbong. Kacau-balau.

Aksi saling dorong itu barangkali tak terlalu bahaya jika jarak peron dengan pintu kereta tak jauh. Namun di beberapa stasiun, celah terlalu jauh, bahkan tinggi peron tak sejajar dengan lantai kereta.

Bayangkan, bagaimana bila ada orang malang terdorong lalu jatuh terperosok ke dalam celah itu sementara kereta bergerak maju? Ini bukan main-main. Bahaya mengintai di depan mata.

Kejadian hari itu membuat saya memikirkan ulang kebiasaan mengenakan high heels. Hak tinggi bisa membuat keseimbangan tubuh berkurang jika konsentrasi mengendur. Dan siapa bisa jamin pikiran saya –yang kerap melantur– siaga satu sepanjang waktu?

Tak pakai high heels saja, orang bisa celaka jika naik kereta komuter (oke, saya mengaku, kelingking kaki saya pernah berdarah karena tergores besi ketika berjalan di sambungan gerbong Commuter Line), apalagi orang yang menggunakan high heels.

Seorang perempuan menunggu kedatangan Commuter Line di peron Stasiun Manggarai, Jakarta Selatan. Ia mengenakan sepatu jenis sneakers yang nyaman untuk berpijak di tengah kepadatan penumpang dalam gerbong kereta. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Saat itu saya menyimpulkan: memakai high heels terlalu riskan untuk perempuan penumpang kereta komuter Jabodetabek. Risikonya sudah jelas: mati cepat.

Saya memutuskan, kehidupan (baca: keselamatan) jauh lebih penting ketimbang high heels. Saya pun menyetop hobi mengenakan high heels.

Bisa jadi pikiran saya itu lebay. Tapi, wajar saja orang cari selamat daripada sungguh-sungguh celaka nantinya. Apalagi, di jalanan Jakarta –serta lintasan dari dan menuju kota-kota satelitnya– yang transportasi publiknya masih minus, juga sebagian pengendaranya ugal-ugalan.
Melihat kondisi jalanan di Jakarta yang ampun-ampunan, dengan kemacetan abadi membayangi, saya teringat pada angkutan umum di ibu kota negara tetangga, Kuala Lumpur, yang lebih ramah.

Pelayanan transportasi publik di KL –sebutan Kuala Lumpur– terintegrasi dengan baik. Di kota itu, angkutan berbasis rel terbagi menjadi LRT (light rapid transit), Monorail Line, KTM Komuter, dan KLIA Ekspres yang menghubungkan Bandara Internasional Kuala Lumpur dengan pusat kota.

Transportasi publik di Kuala Lumpur yang terintegrasi dengan baik, menjadikannya lebih nyaman ketimbang di Jakarta. (CNN Indonesia/Anggi Kusumadewi)
Seluruh moda transportasi di KL itu beroperasi di lintasan berbeda, namun terhubung satu sama lain. Satu daerah bisa dilintasi dua sampai tiga moda transportasi sekaligus, sehingga masyarakat bisa memilih angkutan yang paling cocok dan cepat menuju lokasi yang dituju.

Selain itu, penumpang dapat pindah dari satu moda transportasi ke yang lainnya dengan mudah. Stasiun kereta dan terminal bus pun tersambung. Semua serbarapi.

Salah satu angkutan publik berbasis rel di Kuala Lumpur, Malaysia. (CNN Indonesia/Anggi Kusumadewi)
Angkutan umum ramah semacam itu juga terlihat di Singapura, Bangkok, Tokyo, hingga Beijing. Bangkok, ibu kota Thailand yang dulu semacet Jakarta, kini bergerak cepat membenahi sistem trasportasi publiknya.
Sementara di Beijing, manusia-manusia tak hanya ramai melintas di atas tanah. Mereka juga memadati stasiun-stasiun kereta cepat di bawah tanah yang menghubungkan Beijing dengan kota-kota lain di dataran China.

Shanghai, kota terpadat di China, memiliki stasiun kereta supersibuk yang tersambung langsung dengan bandara, bahkan berdiri persis di samping bandara.

Shanghai Hongqiao Railway Station, stasiun kereta tersibuk di China, memiliki ruangan tunggu utama seluas 10 ribu meter persegi lebih yang mampu menampung 10 ribu penumpang sekaligus, dan terkoneksi langsung dengan bandara di sampingnya. (CNN Indonesia/Anggi Kusumadewi)
Transportasi publik terintegrasi, dengan kenyamanan, keamanan, dan ketepatan waktu yang terjamin, tentu juga jadi impian warga Jakarta dan wilayah sekitarnya.

Siapa tahu, suatu saat nanti, saya bisa kembali memakai sepatu high heels tanpa rasa cemas saat melaju dari Bogor ke Jakarta, juga sebaliknya. Dan para komuter tak harus berkali-kali berganti wujud menjadi pasukan Gurkha yang menakutkan karena kereta mengalami gangguan.

LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER