Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan sangat sulit merumuskan tindak pidana
cyber bullying dalam revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tanpa merusak kebebasan berekspresi.
Pemerintah dan Komisi I DPR telah sepakat bahwa dalam draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Revisi UU ITE yang sudah dibahas akan mengadopsi pengaturan mengenai
cyber bullying. Rumusan tindak pidana
cyber bullying ini masih dalam proses di Panja DPR. Rencananya
cyber bullying atau menakut-nakuti dengan informasi elektronik ini akan dimasukkan ke dalam rumusan Pasal 29 Revisi UU ITE.
“ICJR justru sangat prihatin dengan hasil revisi UU ITE ini. Kami memandang bahwa secara umum revisi ini saja belum menyelesaikan problem Pasal 27 ayat (3) tentang penghinaan di dunia maya namun pemerintah dan Panja Komisi I DPR malah justru menambahkan masalah yang lebih pelik lagi dalam UU ITE,” tutur Supriyadi dalam keterangannya yang diterima CNNIndonesia.com, Sabtu (24/9).
Supriyadi menyebutkan Pasal 29 UU ITE telah memuat ketentuan tentang pengiriman pesan elektronik berisi ”ancaman” atau upaya ”menakut-nakuti”. Yakni setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Ancaman hukuman atas pelanggaran pasal itu adalah hukuman pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (Pasal 45 ayat 3). Aksi
cyber bullying ini akan disisipkan di Pasal 29 tersebut
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut dia, ICJR melihat kebijakan kriminalisasi yang memasukkan cyber bullying ini juga berpotensi menimbulkan overkriminalisasi. “Tampaknya semua masalah yang ada di dunia maya melulu akan diselesaikan dengan cara penggunaan hukuman pidana, dengan ancaman penjara yang berat,” ujar Supriyadi.
ICJR, kata Supriyadi, menilai bahwa memang ada persoalan di dunia maya terkait
cyber bullying. Namun seperti apa cara merumuskan tindak pidananya dalam Pasal 29 UU ITE ini justru yang akan menjadi masalah serius.
“Karena di dunia nyata saja banyak ahli pidana dan negara-negara lain mengalami kesulitan dalam merumuskan pengertian
cyber bullying,” ucapnya.
Menurut Supriyadi revisi UU ITE justru melompat jauh, soalnya sampai saat ini Indonesia belum memiliki defenisi hukum yang baku mengenai
cyber bullying di dunia nyata, namun revisi UU ITE malah memaksa memberikan pengertian baku mengenai
cyber bullying di dunia maya.
Supriyadi menambahkan, karena tidak ada defenisi yang baku mengenai
cyber bullying maka ICJR mengkhawatirkan rumusan yang akan digunakan bersifat lentur dan banyak menimbulkan penafsiran. Dengan kondisi demikian maka tindak pidana ini berpotensi besar disalahgunakan dalam penegakan hukumnya.
“Dengan demikian maka terbukalah celah pemberangusan kebebasan ekspresi di dunia maya. Dengan masuknya tindak pidana baru ini disertai ketentuan Pasal 27 ayat (3) tentang defamasi dunia maya ini maka jelaslah bahwa Revisi UU ITE ke depannya masih berpotensi mengancam kebebasan ekspresi di Indonesia,” kata dia.