LAPORAN KHUSUS

Distrik Ilwayab, 'Surga' Nelayan yang Mati Perlahan

Priska Sari Pratiwi | CNN Indonesia
Kamis, 06 Okt 2016 09:24 WIB
Sebagian nelayan di Distrik Ilwayab, Merauke, Papua, mengalami masa suram setelah perusahaan pengolahan ikan ditutup karena terkait pencurian ikan.
Sebagian nelayan di Distrik Ilwayab, Merauke, Papua mengalami masa suram setelah perusahaan pengolahan ikan ditutup karena terkait pencurian ikan. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Merauke, CNN Indonesia -- Lambertus Mahose asyik menghitung uang penjualan ikannya pada suatu siang September lalu. Ada lima lembar uang sepuluh ribuan. Hasil jual ikan hari itu, mungkin tak cukup banyak dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya.

“Pendapatan kami memang menurun sejak setahun terakhir,” ucapnya saat ditemui di Desa Bibikem.

Lambertus adalah nelayan Desa Bibikem, Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke, Papua. Kulitnya gelap dengan urat tangan yang menonjol. Usianya 47 tahun. Lebih dari sepuluh tahun sudah warga asli suku Asmat ini menggantungkan nasibnya menjadi nelayan di Desa Bibikem.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menuju Desa Bibikem, diperlukan waktu sekitar 45 menit dari Bandara Mopah, Kabupaten Merauke, dengan pesawat perintis Susi Air. Tak ada akses jalan darat menuju desa itu.

Pesawat akan mendarat di bandara Desa Wanam. Tak sampai 10 menit, perjalanan dari Desa Wanam menuju Desa Bibikem dengan sepeda motor.

Dengan tergesa, Lambertus mengeluarkan bangku panjang dari dalam rumah petaknya. Rumah kayu berukuran 4x5 meter yang menjadi hunian bagi istri dan empat anaknya. Tanpa sekat dan bentuk atap yang tak rapat.

Hanya ada alas tidur sekadarnya. Ini pun berbaur dengan ayam dan anjing yang sesekali menumpang tidur di dalamnya.

Lambertus memindahkan bangku itu di kebun depan rumah agar kami lebih leluasa bicara. Dia mulai menceritakan turunnya pendapatan yang diperoleh sejak setahun terakhir.

Pendapatan nelayan di Distrik Ilwayab terus menurun dalam setahun terakhir. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Ini bermula ketika Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencabut Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) PT Dwikarya Reksa Abadi, pertengahan tahun lalu.

Perusahaan itu diduga melanggar Peraturan Menteri KKP Nomor 56 Tahun 2014 soal Penghentian Sementara Kapal Eks Asing yang dikeluarkan Susi Pudjiastuti.

Diketahui, kebijakan yang diterbitkan Menteri KKP Susi Pudjiastuti dinilai sebagai upaya untuk mendukung kedaulatan Indonesia terhadap wilayah maritim. Presiden Joko Widodo sendiri berkomitmen untuk membangun Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Pemerintah menyatakan poros maritim akan diwujudkan untuk menjamin konektivitas antar pulau, pengembangan industri perkapalan dan perikanan, perbaikan transportasi laut, sekaligus keamanan sektor maritim.

Akibat kebijakan itu, perusahaan pengolah ikan tersebut terpaksa tutup dan tak lagi beroperasi. Imbasnya pun dirasakan nelayan Desa Bibikem, macam Lambertus.

Tak hanya itu, beberapa fasilitas umum hingga kesehatan yang disumbang perusahaan juga turut tak beroperasi.

PT Dwikarya adalah perusahaan yang terkena dampak penghentian sementara perizinan usaha perikanan tangkap oleh KKP. Letak kantornya di Desa Wogekel, Distrik Ilwayab, kawasan yang ada di antara Desa Bibikem dengan Desa Wanam.

Perusahaan yang mulai beroperasi sejak 2006 itu ketahuan menggunakan kapal eks asing sekaligus dugaan praktik pencurian ikan.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mencatat sedikitnya ada empat grup besar perusahaan yang diduga melakukan praktik pencurian ikan. Mereka adalah PT Maritim Timur Jaya; PT Dwikarya Reksa Abadi; PT Pusaka Benjina Resources; dan PT Mabiru Industry.

Pada Juni 2015, 15 perusahaan yang dicabut izinnya oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) itu, dinilai berafiliasi dengan empat grup bisnis itu.

Lambertus menuturkan sebelum perusahaan tutup, dia bisa memperoleh hasil tangkapan hingga 50 kilogram per hari. Hasil tangkapan itu kemudian dijual dengan harga Rp11.500 per kilogram pada PT Dwikarya.

Dalam sehari dia mampu meraup keuntungan hingga Rp500.000. Bahkan jika hasil tangkapan sedang ramai, dia mampu membawa pulang uang hingga Rp700.000.

“Setelah perusahaan tutup, tidak per kilogram lagi kami jual. Tapi per ekor dalam sehari,” katanya. “Paling sepuluh ekor kami dapat, lima ekor saja yang laku.”

Tiap satu ekor ikan, dia jual dengan harga Rp10.000. Lambertus mesti cepat-cepat menjual ikan tersebut agar tak cepat busuk. Berbeda saat perusahaan masih beroperasi. Dia mampu menjaring ikan dalam jumlah yang relatif besar karena bisa menyimpan sisanya di ruang pendingin milik perusahaan.

“Kami cari ikan bisa langsung setor, timbang, dapat uang, bisa simpan di tempat pendingin. Tapi sekarang setelah tutup, setengah mati kami cari uang,” tuturnya.

Lambertus pun terus memutar otak. Ini karena keempat anaknya yang masih sekolah masih butuh biaya. Sementara uang yang dia hasilkan, hanya cukup untuk biaya makan sehari-hari.

Beruntung ada tambahan penghasilan dari istrinya yang bertani. Hasil tani berupa sawi, tomat, dan kacang panjang dijual ke pasar. Lambertus juga menyewakan beberapa jaringnya ke nelayan lain.

Bantuan dari pemerintah setempat tak dapat diharapkan banyak. Sebulan sebelum bertemu CNNIndonesia.com, Lambertus menerima peti penyimpan ikan dan kapal tanpa mesin dari pemerintah Kabupaten Merauke. Sebelumnya, dia juga menerima bantuan berupa jaring penangkap ikan.

Namun, jaring itu beberapa kali koyak tersangkut taring buaya. Dia mesti menjahitnya karena tak mungkin membeli jaring baru. Harga jaring baru yang mencapai Rp1 juta, dirasa cukup berat bagi Lambertus.

Dia berharap perusahaan yang selama ini menjadi penopang ekonomi keluarganya bisa beroperasi kembali.

“Kami minta tolong supaya bisa makan, perusahaan ini harus lancar kembali.”

Distrik Ilwayab memiliki sekitar 2.963 nelayan, salah satu jumlah terbesar dari 20 distrik di Merauke. Kabupaten itu sendiri memiliki produksi ikan mencapai sedikitnya 7,2 juta kilogram.

Lambertus Mahose berpikir keras untuk menghidupi keluarganya setelah perusahaan pengolahan ikan ditutup. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Operasi Perusahaan

CNNIndonesia.com pun berkesempatan melihat ruang pendingin milik PT Dwikarya. Sesampainya di sana, hawa dingin menyeruak. Ada tumpukan ratusan ton karung ikan setinggi hampir tiga meter. Bau khas ikan segar pun tercium.

Ada enam ruang pendingin tempat menyimpan ikan. Sebagian di antaranya menyimpan ratusan ton ikan tengiri, kakak, kuro, layur, bawal, dan berbagai jenis ikan yang disimpan dalam karung. Totalnya mencapai 6.000 ton ikan.

Hampir dua tahun terakhir ikan-ikan hasil tangkapan itu tersimpan dalam ruang pendingin milik PT Dwikarya. Sejak ketahuan melakukan praktik penangkapan ikan ilegal, perusahaan tak boleh lagi mengeluarkan hasil tangkapannya. Alhasil, berkarung-karung ikan hasil tangkapan 2013—2014 itu tertahan di dalam.

Salah satu karyawan PT Dwikarya, Kharol E Teurupun mengatakan ruang pendingin terpaksa tetap dinyalakan untuk menjaga kesegaran ikan. “Sayang ikannya. Kalau dimatikan pendinginnya, ikan jadi busuk,” kata Kharol.

Berdasarkan keterangan KKP, PT Dwikarya tercatat memiliki tujuh kapal penangkapan ikan eks China yang masing-masing bernama Dwikarya 38, Dwikarya 39, Dwikarya 50, Dwikarya 59, Dwikarya 60, Dwikarya 61, dan Dwikarya 62.

Pelabuhan pangkalan kapal Dwikarya 38, 39, dan 50 berada di Pelabuhan Wanam. Sementara untuk Dwikarya 59, 60, 61, dan 62 di Pelabuhan Avona, Papua. Dari ratusan kapal milik PT Dwikarya, hanya sekitar 61 kapal yang berizin resmi.

Perusahaan itu juga diduga melakukan pemalsuan dokumen atas 72 kapal lainnya.

Selain itu, PT Dwikarya dituding kerap melakukan tindakan jual beli ikan di tengah laut atau transshipment di luar wilayah operasi tangkapnya. Sejumlah ketentuan dalam bidang administrasi seperti Laporan Kegiatan Usaha (LKU) dan kewajiban dalam perpajakan juga dilanggar.

SIUP pun dicabut pada Juni 2015. Sekitar 470 karyawan PT Dwikarya dirumahkan. Termasuk Anak Buah Kapal (ABK) asing yang kini telah dipulangkan ke negara asal.

Kharol merupakan salah satu dari 30 karyawan yang tersisa. Dia juga menjabat sebagai kepala cabang PT Antarticha Segara Lines, perusahaan agen kapal yang bekerja sama dengan PT Dwikarya. Badannya tegap dengan nada bicara tegas.

“Karyawan yang tersisa kerjanya mengurus perawatan kapal, menjaga solar, termasuk cold storage. Paling itu saja,” katanya.

Kharol mengakui, dalam mengoperasikan kapal penangkap ikan, perusahaannya menggunakan sekitar 600 warga asing dengan menggunakan izin Kemudahan Khusus Keimigrasian.

Izin ini dikeluarkan pihak imigrasi berdasarkan permintaan sponsor yang akan memperkerjakan orang asing sebagai nakhoda maupun awak kapal yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia. Mereka dibebaskan dari kewajiban memiliki visa.

Kharol beralasan para tenaga asing itu dibutuhkan karena sebagian kapal baru milik perusahaan didatangkan dari China. Kapal itu menggunakan teknologi baru yang hanya bisa dioperasikan oleh awak kapal yang menguasainya.

Ini terutama untuk bagian nakhoda, ahli tangkap ikan, bagian pendingin, maupun bagian elektronik.

“Kami sudah latih ABK lokal, tapi rata-rata hanya bisa bertahan satu sampai dua trip penangkapan,” ucapnya.

Perusahaan, kata dia, juga terganjal dengan Peraturan Menteri KKP Nomor 2 Tahun 2015 yang melarang penggunaan trawl atau pukat harimau yang digunakan untuk menangkap ikan. Pukat itu dianggap alat tangkap yang tak ramah lingkungan karena merusak habitat laut.

Kharol menuturkan sulit bagi perusahaan untuk mengubah alat tangkap dengan 61 kapal yang saat ini masih tersisa. Sebab, butuh biaya cukup mahal dan waktu yang sangat lama untuk mengurus perubahan alat tangkap.

“Perusahaan juga harus mengubah izin dalam SIUP kalau ingin mengubah alat tangkap,” kata dia.

Dengan perubahan alat tangkap ini, para awak kapal butuh waktu lagi untuk mempelajari teknik dan cara menggunakan jaring model baru.

Ikan beku yang disimpan di ruang pendingin milik perusahaan di Desa Wogekel, Merauke. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Dia lantas mengajak CNNIndonesia.com berkeliling ke area perusahaan. Luasnya yang mencapai 500.000 meter persegi tak mampu dicapai hanya dengan berjalan kaki.

Kharol menunjukkan freezer atau tempat pembekuan ikan sambil mengendarai sepeda motor. Terdapat empat unit tempat pembekuan dengan kapasitas masing-masing 24 ton.

Ada pula ruang genset sebanyak tujuh unit dengan kapasitas terpasang masing-masing 250 kilovolt ampere (kVa). Selain untuk mengaktifkan tempat pembekuan ikan dan ruangan pendingin, genset juga digunakan untuk mengalirkan listrik ke permukiman warga.

Namun sejak perusahaan tak lagi beroperasi, warga terpaksa patungan membeli genset baru.

Tak jauh dari ruang genset, terdapat pula ruang pembuatan balok es.

Ruang ini terhubung dengan rel dari kayu yang menyerupai jalur permainan roller coaster. Tingginya sekitar dua meter dengan panjang kurang lebih 100 meter. Rel itu digunakan untuk mengirim balok es menuju kapal yang ada di dermaga kayu milik PT Dwikarya.

Saat masih beroperasi, perusahaan bisa memproduksi hingga 180 ton es per hari. Namun kini rel kayu itu kering, tak ada balok es yang diantar ke kapal.

Kharol memarkirkan sepeda motor. Kami berjalan kaki menuju dermaga milik perusahaan. Potongan kayu besar yang menjadi penopang jalan menuju dermaga menimbulkan bunyi cukup keras saat diinjak. Sesekali kami harus berhati-hati karena ada lubang cukup besar di bawahnya.

Begitu tiba di ujung dermaga, terlihat puluhan kapal dengan ukuran 200 hingga 300 gross ton (GT) bersandar. Kapal-kapal dari China itu berjajar rapi. Kerangkanya mulai berkarat karena hampir dua tahun tak digunakan. Sejumlah kapal yang berukuran lebih kecil bahkan hampir separuh badannya tenggelam.

[Gambas:Video CNN]

PT Dwikarya memiliki 76 armada kapal yang terdiri dari 74 kapal penangkap dan dua kapal penampung. Kemudian untuk jenis kapal kayu terdapat 67 armada kapal yang terdiri dari 53 kapal tangkap dan 14 kapal penampung.

“Sementara yang kerja sama dengan kami ada 87 kapal penangkap,” jelas Kharol.

Selain menjadi tempat sandaran kapal, ada pemandangan menarik dari salah satu sudut dermaga. Sebuah crane sepanjang kurang lebih lima meter diikatkan dengan katrol. Besinya mulai berkarat.

Meski demikian, warna biru pada crane masih terlihat bagus walau mengelupas di beberapa bagian. Sebelum perusahaan tutup, crane itu digunakan pula untuk mengangkut ikan. Kapasitasnya mencapai 30 ton per hari.

“Sekarang ya didiamkan begitu saja. Tidak bisa digunakan,” tutur Kharol.

Saat perusahaan masih beroperasi, Kharol mengaku bisa meraup keuntungan hingga miliaran rupiah per tahun. Namun dia tak berani menaksir berapa angka keuntungannya.

Menurut Kharol, biaya operasi satu kapal saja mencapai Rp400 juta hingga Rp500 juta per bulan. Jumlah itu tertutup dengan keuntungan yang diperoleh dari kapal-kapal milik PT Dwikarya. Belum lagi keuntungan dari jumlah ekspor hasil produksi yang dikirimkan ke China.

Gudang ruang pendingin ikan milik PT Dwikarya Reksa Abadi. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Pada 2013, hasil ekspor yang dikirimkan PT Dwikarya ke negara tirai bambu tersebut mencapai 36,1 juta kilogram ikan. Jumlah ini hampir seluruhnya diambil dari total produksi yang dihasilkan perusahaan pada tahun yang sama yakni 36,3 juta kilogram ikan.

Pada 2014, hasil ekspor yang dikirimkan turun sebesar 35,8 juta kilogram ikan. Sementara total tangkapannya sebesar 38,8 juta kilogram. Namun setelah SIUP dicabut, semua produksi dan kegiatan ekspor pun terhenti. Perusahaan hanya memiliki stok akhir sebanyak 3,07 juta kilogram ikan di penghujung 2014.

Kharol mengklaim perusahaannya selama ini telah menaati sejumlah aturan.

Ini macam membayar Pungutan Hasil Perikanan (PHP) hingga membayar retribusi daerah maupun Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Jumlah PHP yang mesti dibayarkan tiap tahun untuk semua kapal, kata dia, mencapai Rp15 miliar.

Sejumlah fasilitas dari perusahaan pun, menurut Kharol, telah disediakan bagi warga. Mulai dari sekolah, mes karyawan, kantor pos, pasar, bank, hingga rumah sakit. Namun sejak perusahaan merugi, seluruh bangunan kosong. Perusahaan tak mampu lagi membayar biaya untuk kegiatan fasilitas tersebut.

Fasilitas Kesehatan

Kharol juga mengajak CNNIndonesia.com melongok bangunan rumah sakit yang menjadi fasilitas di Desa Wanam. Rumah sakit ini menjadi satu-satunya fasilitas kesehatan dari perusahaan bagi warga. Letaknya tak terlalu jauh dari dermaga.

Alih-alih disebut rumah sakit, bangunan itu lebih terkesan menyerupai puskesmas.

Seorang perempuan paruh baya terlihat duduk di bangku panjang dekat pintu. Badannya gempal dengan rambut digulung rapi. Ada senyuman yang hangat di wajahnya.

“Mari silakan,” ucap perempuan itu.

Perempuan itu adalah Gemma Walewowan. Seorang bidan yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hampir seluruh warga desa mengenal Gemma karena dia satu-satunya tenaga medis yang masih bekerja di rumah sakit.

Gemma menyempatkan berbincang dengan CNNIndonesia.com sambil menunjukkan pelbagai ruangan yang ada di rumah sakit. Tak ada pasien yang berobat, apalagi pasien rawat inap. Ruangan minim cahaya, hanya lampu di ruang pemeriksaan dan ruang tunggu yang dinyalakan.

“Sejak perusahaan tutup, rumah sakit juga berhenti beroperasi,” kata Gemma sambil menunjukkan ruang bersalin. Ada dua tempat tidur dan meja berisi sejumlah peralatan medis di dalamnya. Semua masih terlihat rapi dan terawat.

Gemma menceritakan sebelum perusahaan tutup, aktivitas di rumah sakit selalu ramai. Terdapat satu dokter umum, delapan perawat, tiga bidan, satu tenaga analis laboratorium, dan satu tenaga apotek yang melayani warga.

Dalam satu bulan, rumah sakit bisa melayani hingga 800 pasien yang terdiri dari karyawan maupun warga sekitar. Mayoritas warga menderita penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). “Warga sekitar yang berobat di sini tidak ditarik biaya,” tuturnya.

Statusnya sebagai PNS membuat Gemma menerima gaji dari pemerintah dan perusahaan. Namun sejak perusahaan tak lagi beroperasi, Gemma hanya menerima gaji dari pemerintah.

“Sekarang tinggal saya saja di sini. Mengobati iya, membantu orang melahirkan juga iya,” imbuhnya.

Rumah sakit yang tak lagi beroperasi maksimal di Desa Wanam setelah perusahaan pengolah ikan dihentikan operasinya. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Kami menyusuri lorong rumah sakit. Gemma menuturkan, saat hujan deras dia harus menyiapkan ember untuk menampung air yang merembes dari atap yang tak tertutup rapat. Dinding rumah sakit itu mulai terlihat mengelupas.

Sayangnya Gemma tak bisa berlama-lama menemani. Dia mesti berkunjung ke rumah salah satu warga yang baru saja menghubunginya. “Kalau ditelepon saya juga mesti datang memeriksa ke rumahnya,” ucap Gemma.

Dia berpamitan sambil mengunci pintu-pintu yang ada di rumah sakit.

Berdua dengan Kharol, kami berjalan meninggalkan rumah sakit. Kharol tak banyak bicara setelahnya. Sesekali, dia menyapa warga yang baru saja pulang dari acara penyambutan bupati Merauke pada hari itu.

Kharol berharap ada kebijakan yang jelas dari KKP untuk mengarahkan perusahaan agar dapat beroperasi kembali.  “Sekarang perusahaan kami tak jelas. Hidup segan, mati tak mau” katanya.

Di Distrik Ilwayab, perubahan terjadi dalam hampir setahun terakhir.

Mungkin, ini pula yang menyebabkan nelayan macam Lambertus Mahose, memutar otaknya lebih keras.
(asa)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER