Jakarta, CNN Indonesia -- Rencana pemerintah meningkatkan kemakmuran nelayan seiring perwujudan Indonesia sebagai poros maritim dunia, tak semudah membalik telapak tangan. Alih-alih sejahtera, banyak nelayan justru merasa makin sengsara.
Sejumlah nelayan misalnya melaut lantaran merasa terhambat dengan berbagai kebijakan pemerintah. Salah satunya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 57 Tahun 2014 yang melarang alih muatan di laut.
Pelarangan tersebut menyulitkan karena tidak semua daerah di Indonesia memiliki cool storage atau fasilitas untuk menyimpan bahan hasil pertanian dan industri. Tidak seluruh wilayah juga memiliki pasar atau sentra penjualan ikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akibatnya, tercatat 440 kapal nelayan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan tidak melaut. Selain mereka, nelayan di pantai selatan Jawa Barat juga mengalami hal serupa, misalnya Mu’in.
Pria 56 tahun itu berhenti melaut lantaran ketakutan ditangkap saat menurunkan atau memindahkan hasil tangkapannya di laut. Mu’in kini menggantungkan nasib kepada penjualan aksesoris kerang di daerah wisata Pantai Pangandaran.
"Saya mah enggak bisa melaut. Itu kapal saya diam saja begitu di depan rumah. Takut saya, takut ditangkap samsat laut," kata Mu'in kepada CNNIndonesia.com, Selasa (4/10).
Bahkan, bukan hanya kebijakan pelarangan bongkar muat di tengah laut itu yang dianggap para nelayan menyengsarakan mereka.
April lalu misalnya, ratusan nelayan berunjuk rasa ke Gedung Dewan Perwakilan Rakyat untuk memprotes kebijakan Menteri KKP Susi Pudjiastuti tentang pelarangan penangkapan lobster, kepiting, dan rajungan pada musim tertentu. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri KKP Nomor 1 Tahun 2015.
Satu lagi kebijakan yang diprotes adalah Peraturan Menteri KKP Nomor 56 dan 58 tentang penghentian sementara atau moratorium perizinan usaha perikanan tangkap di wilayah pengelolaan perikanan.
Aksi demonstrasi bukan cuma digelar nelayan di Jakarta, tapi di daerah-daerah lain. Mereka menentang deretan peraturan menteri yang dianggap merugikan itu.
Sebaliknya, Menteri Susi mengklaim peraturan yang selama ini ia keluarkan murni untuk menyejahterakan nelayan dalam jangka panjang, juga guna mendukung Nawacita Jokowi membangun Indonesia sebagai poros maritim dunia.
"Maunya buat semua orang
happy. Tapi tidak ada kebijakan yang
make everyone happy. Saya buat kebijakan untuk kesejahteraan jangka panjang. Untuk jangka pendek memang tidak ada, tapi nanti kalian juga akan untung," kata Susi, akhir September.
Dua tahun visi maritimPemerintah Jokowi, sesuai visi maritim yang diusung, berjanji membangun Indonesia sebagai poros maritim dunia, dengan komitmen untuk menjaga dan mengelola sumber daya laut, serta membangun kedaulatan pangan laut melalui pengembangan industri perikanan dan penempatan nelayan sebagai pilar utama maritim.
"Nelayan adalah fokus utama kami untuk membangun poros maritim Indonesia. Negara bertanggung jawab menyejahterakan para nelayan," kata Riza Damanik, tenaga ahli utama pada Kantor Staf Presiden Republik Indonesia.
Pada tahun kedua pemerintahan Jokowi, menurut Riza, akselerasi kesejahteraan nelayan disiapkan, setelah sebelumnya pada 2015 lebih fokus pada pemberantasan
illegal fishing.Riza mengatakan, Jokowi telah mempersiapkan
roadmap untuk meningkatkan sektor perikanan, yakni dengan membangun unit pengelolaan ikan (UPI) di beberapa daerah. Presiden juga meletakkan pengolahan ikan sebagai industri utama untuk sektor pangan.
"
Roadmap ini 100 persen untuk kesejahteraan nelayan. Tujuannya yaitu tersedia 12,7 juta tenaga kerja, memasok 54 persen konsumsi protein domestik, dan menghidupkan tradisi kebaharian," kata Riza.
Ketika poros maritim terealisasi secara sempurna, ujar Riza, bukan hanya sektor perikanan tangkap atau industri pengolahan ikan yang akan berkembang, tetapi lima sektor strategis lainnya akan mengalami peningkatan.
"Sektor pariwisata, pendidikan, perkapalan, pelabuhan, dan farmasi juga akan maju. Sisik ikan atau
seawood misalnya bisa dijadikan kapsul pembungkus obat," ujar Riza.
Ia mengklaim, selama dua tahun pemerintahan Jokowi, produksi ikan Indonesia terus meningkat. Hal tersebut, kata Riza, bisa dilihat dari data tren produksi dan pola konsumsi ikan masyarakat Indonesia dari tahun 2009.
Data tren produksi ikan menunjukkan kenaikan hingga 21,7 juta ton pada 2015, setelah setahun sebelumnya hanya mencapai 20,9 juta ton. Seiring, tren konsumsi ikan pun meningkat menjadi 41 kilogram per kapita per tahun pada 2015, sementara tahun sebelumnya hanya berhenti di angka 38 kilogram per kapita.
"Karena peningkatan ini, bisa kami simpulkan tren kesejahteraan (nelayan) membaik bahkan cenderung naik. Sejauh ini janji Nawacita Presiden telah berjalan baik," ujar Riza.
Selain itu, kata Riza, Jokowi akan membuat jalur transportasi ikan dengan bantuan kereta api. Untuk itu Kementerian Perhubungan dan Kementerian KKP sedang membuat inovasi baru terkait alur transportasi hasil ikan tangkap.
"(Menggunakan kereta api) biayanya bisa lebih murah dan estimasi waktu juga cepat," kata Riza.
Program-program pemerintah itu beradu cepat dengan ketidakpuasan yang kini dirasakan para nelayan.
(agk/abm)