Jakarta, CNN Indonesia -- Aksi mogok kerja yang dilakukan ribuan pengusaha, nelayan, anak buah kapal di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Muara Baru masih berlangsung hingga kemarin. Para pengusaha yang tergabung dalam Paguyuban Pengusaha Perikanan Muara Baru (P3MB) masih menunggu keputusan atas aksi mereka dari Perusahaan Umum Perikanan Indonesia (Perum Perindo) hingga hari ini, Senin (17/10).
Ketua P3MB, Tachmid Widiasto Pusoro mengatakan, pihaknya masih menunggu jawaban atas kenaikan harga sewa lahan yang dilakukan oleh perusahaan umum itu. "Kami kan lakukan ini (aksi mogok) memang rencana seminggu, tapi kami akan terus menunggu sikap dari Perum Perindo," kata Tachmid di Jakarta.
Dia juga menyebut bahwa pernyataan dan data yang dikeluarkan oleh Perum Perindo selama ini tidak sesuai fakta dan realitas yang terjadi di lapangan. Tachmid secara khusus menyoroti pernyataan Perindo yang mengatakan kalau kawasan Muara Baru dikuasai oleh sejumlah pengusaha.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Muara Baru ditempati ratusan pengusaha dari kecil, menengah sampai besar. Masing-masing mempunyai skala bisnisnya tersendiri. Ini sangat jelas karena Perum Perindo sendiri mempunyai datanya, kok tiba-tiba bilang Muara Baru dikuasai segelintir pengusaha," kata Tachmid.
Pengguna jasa di kawasan Muara Baru pun menurutnya telah mengalami beberapa kali pergantian. Mayoritas pengguna jasa saat ini adalah pengguna jasa baru. Juga, mengenai kenaikan sewa tarif, menurut Tachmid sudah berkali-kali terjadi.
"Muara Baru dikuasai mafia. Muara Baru dikuasai segelintir orang. Pengusaha Muara Baru sudah menikmati tarif murah Rp10 juta per hektare selama 30 tahun. Ini adalah fitnah dan data bohong," kata dia.
Lebih lanjut, Tachmid menjelaskan, sebelumnya Perum Perindo telah menaikkan tarif sewa lahan secara gradual per semester hingga mencapai 450 persen. "Kan mereka bilang kenaikan hanya 48 persen, itu adalah kenaikan semester pertama, kenaikannya itu gradual akan naik terus hingga 1.000 persen di tahun 2021 nanti," katanya.
Selain itu, Tachmid mengatakan, peraturan baru mengenai jangka waktu sewa lahan di Muara Baru yang diperpendek hingga batas waktu lima tahun, tidak
feasible dan
bankable. "Padahal di aturan Kementerian Keuangan pun sewa lahan itu bisa lebih dari lima tahun," kata dia.
Permasalahan lainnya yaitu mengenai saham tongkang dan harga tongkang solar yang ditentukan oleh Perum Perindo. Selama ini, kata Tachmid, harga solar di kawasan itu ditentukan secara sepihak oleh Perindo.
"Tentu sangat keberatan, mereka menentukan saham tongkang kosong untuk solar itu 25 persennya harus masuk ke Perum Perindo, tapi harga mereka yang tentukan, semuanya harus sama rata," kata dia.
Hal lain yang dipermasalahkan oleh hampir semua masyarakat di Muara Baru menurut Tachmid adalah penggusuran paksa di kawasan itu yang dilakukan oleh Perum Perindo dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Penggusuran itu bertujuan untuk pembangunan pasar modern sekelas Pasar Tsukiji di Jepang.
Menurutnya, meskipun pembangunan pasar itu mengacu kepada Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2016, namun pembangunan pasar modern sekelas Tsukiji justru berlawanan dengan rencana pembangunan untuk infrastruktur pembangunan industri perikanan.
"Pasar modern itu, alih-alih membangun infrastruktur perikanan, lebih pas disebut pembangunan pariwisata, ini sudah keluar jalur," ujar Tachmid.
(agk)