Jakarta, CNN Indonesia -- Para petani Desa Surokonto Wetan, Kendal, Jawa Tengah, dibayangi ketakutan. Sebanyak 26 orang telah dipolisikan karena dituding menyerobot lahan.
Sebanyak 460 kepala keluarga pun terancam kehilangan pencaharian di atas lahan seluas 127 hektare itu.
Kini warga setempat tak nyaman lagi bertani. Keamanan mereka terancam. Sewaktu-waktu petani bisa dilaporkan ke pihak kepolisian karena dituduh menggunakan lahan milik Perhutani secara tidak sah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada penetapan kawasan hutan berdasarkan SK Menhut 3021 di kawasan tersebut sebagai pengganti lahan PT Semen Indonesia yang ada di Rembang," kata Atma Khikmi aktivis Lembaga Bantuan Hukum Semarang saat ditemui di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Senin (17/10).
SK itu diterbitkan pada 17 April 2014. Usai penerbitan itu, 26 petani dilaporkan ke Polres Kendal oleh Rovi Tri Kuncoro, ADM Perum Perhutani, KPH Kendal atas tuduhan merusak hutan. Sementara tiga petani di antaranya kini berstatus terdakwa karena dituduh menggerakkan warga masuk ke kawasan hutan secara tidak sah.
Pada 5 Oktober, sidang peninjauan kembali Mahkamah Agung memutuskan, memenangkan gugatan petani Rembang dan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Kemenangan tersebut membuat izin lingkungan yang diterbitkan Gubernur Jawa Tengah untuk PT Semen Gresik (Persero) Tbk harus dibatalkan. Setelah pembatalan itu, petani Kendal mendesak agar penetapan kawasan hutan itu pun dibatalkan.
Nur Aziz, salah satu petani yang kini menjadi terdakwa mengatakan, warga tetap bertahan untuk menggarap lahan tersebut. "Itu satu-satunya sumber pangan kami," kata Aziz.
Hari ini, sebanyak 75 petani mendatangi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Mereka meminta Surat Keputusan Menteri Kehutan Nomor 3021 dicabut. Surat tersebut dianggap sebagai dasar melakukan kriminalisasi kepada para petani.
"Kami minta hentikan kriminalisasi yang ada di Kendal. Warga tidak salah, tidak tahu prosesnya bagaimana proses tukar guling itu," kata Aziz.
Selain ke KLHK mereka juga mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka melaporkan dugaan korupsi di balik sengketa tanah dengan PT Sumur Pitu yang belakangan menjualnya ke PT Semen Indonesia.
"Kami mendatangi KLHK dan KPK karena kami pikir harus ada penulusuran lebih jauh oleh KPK, dan KLHK juga harus melihat apakah wilayah tersebut sudah
clean and clear," ujar Atma.
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK San Afri Awang yang mereka temui menolak permintaan para petani. Menurut Atma, San menyatakan lahan tersebut sudah clean and clear di kementeriannya dan menyarankan agar menelusuri ke Kementerian Agraria.
"Dia tidak bisa mencabut SK yang menyatakan kawasan tersebut sebagai kawasan hutan. Sebagai Dirjen dia juga tidak mengetahui soal kriminalisasi tiga petani," kata Atma.
Kronologi Penguasaan LahanLahan itu kini jadi sengketa. PT Semen Indonesia telah membeli lahan itu dari PT Sumurpitu untuk tukar guling dari lahan milik Perhutani di Rembang yang menjadi lokasi pembangunan pabrik Semen Indonesia.
Sutrisno Rusmin, petani yang dianggap sebagai sesepuh, menjelaskan kronologi kepemilikan lahan. Menurutnya, lahan itu awalnya milik perusahaan swasta zaman penjajahan Belanda. Namun saat peristiwa G30S pecah, lahan itu dikuasai PT Sumur Pitu.
Pada 1956 lahan dikelola NV Seketjer Wringinsari. Usai peristiwa Gerakan 30 September 1965 pecah di Jakarta, PT Sumurpitu Wringinsari mengambil alih dan melanjutkan pengelolaan lahan. Perusahaan ini memiliki hak guna usaha hingga 1998, dan diperpanjang lagi sampai 2022.
Namun Sumurpitu dinilai tak mengelola lahan secara berkelanjutan. Lahan tidur seluas 127 hektar itu digarap warga Surokonto dengan menanam palawija sejak 1972.
"Bahkan warga diizinkan dalam mengelola lahan tersebut dengan ketentuan satu per tiga milik Sumurpitu dan sisanya miliki warga," kata Rusmin.
Hingga kini warga masih menggarap lahan yang dirawat warga secara turun temurun. Mereka tetap bertani meski di bawah rasa ketakutan. Sementara pemerintah tak menghiraukan nasib warganya yang hidup dalam ketidakpastian.
(asa)