Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia --
Pak Jokowi yang baik,
Saya tak akan lupa raut muka Udam Muhtadin, seorang petani tua asal Desa Wanasari, Karawang, Jawa Barat, ketika bertemu pertama kali pada pertengahan tahun ini. Dia kehilangan lahan garapannya saat konflik tanah pecah, dua tahun silam. Lawan Udam memang tak bisa dianggap enteng: anak usaha dari pengembang besar di Jakarta, PT Agung Podomoro Land Tbk.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dan hari ini, Udam serta sebagian petani Wanasari lainnya, tak bisa menanam di tanah sendiri.
Mukanya juga menyiratkan kegusaran, mengingat peristiwa dua tahun silam. Ada eksekusi lahan yang dikawal anggota ribuan Brigade Mobil. Ada mobil
water cannon yang menembakkan air ketika protes dilakukan. Korban juga berjatuhan. Petani yang terkena peluru karet. Buruh yang terluka.
“Apa artinya ada pemerintahan, tidak berpihak ke rakyat kecil,” kata Udam. “Apa mau jadi negara Podomoro?”
Mungkin petani Wanasari bukanlah satu-satunya kelompok yang berurusan dengan konflik agraria. Ada ribuan penggarap lahan lainnya di luar Jawa—Aceh hingga Papua—yang makin terdesak. Mereka berhadapan dengan penguasa tanah yang punya konsesi ribuan hektare. Mulai dari sektor pertambangan, perkebunan skala besar hingga sektor kehutanan dan wilayah pesisir.
Petani, juga bukan tak mungkin, kian terpinggirkan proyek raksasa lainnya: jalan tol, bandara hingga pembangkit listrik. Penguasaan lahan hari ini, bisa jadi, kian menunjukkan kepincangannya.
Setidaknya laporan Bank Dunia dapat menjelaskan persoalan itu. Ketimpangan yang melebar dalam sepuluh tahun terakhir, ikut didorong oleh tingginya konsentrasi kekayaan sebagian kecil orang di Indonesia. Lebih tepatnya, kata lembaga itu, satu persen rumah tangga—dari total 62 juta— menguasai 50 persen kekayaan dari Sabang sampai Merauke.
“Segelintir warga Indonesia meraup keuntungan lewat kepemilikan aset keuangan dan fisik, kadang diperoleh melalui korupsi,” demikian Bank Dunia. “Menyebabkan ketimpangan di masa depan lebih parah.”
Laporan ketimpangan ini juga mengingatkan saya soal Suharmi, perempuan petani asal Dusun Cawang Gumilir, Musi Rawas, Sumatera Selatan.
Perempuan itu beserta keluarganya, tergusur dari rumah mereka sendiri pada Maret lalu. Ada kebun yang dihancurkan. Pondok yang dirobohkan alat berat untuk penanaman ekaliputus, milik satu perusahaan raksasa asal Jepang, Marubeni Corporation. Kayu-kayu dan seng pun berserakan di sekitar area permukiman.
“Itulah harta kami satu-satunya,” kata Suharmi, pada September lalu. “Mau pulang, tapi pulang ke mana?”
 Foto: CNN Indonesia/Laudy Gracivia |
Laporan Bank Dunia seakan tak cukup soal ketimpangan. Riset konsultan properti internasional, Knight Frank, soal kekayaan global pada Maret lalu, bisa jadi, pun membuka betapa lebarnya jurang sosial.
Ada lonjakan 349 persen untuk pertumbuhan orang-orang super kaya di Indonesia dalam waktu sepuluh tahun terakhir—periode yang relatif sama terjadinya ketimpangan hari ini. Ini adalah orang-orang dengan investasi masing-masing sekitar US$30 juta. Mereka juga dikenal sebagai
Ultra High Net Worth Individuals.Saat ini, jumlah individu super kaya itu mencapai sedikitnya 1.096 orang dan diperkirakan berjumlah 2.302 orang pada 2025. Investasinya pelbagai macam: rumah mewah, uang, surat utang, koleksi benda seni, mobil hingga logam mulia.
Laporan Bank Dunia dan Knight Frank, saya kira, menunjukkan siapa ‘tuan tanah’ sebenarnya.
Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) pun menerbitkan laporan yang memerinci penguasaan tanah. Pada September lalu, organisasi itu menunjukkan sedikitnya 37,57 juta hektare—dari total luas daratan Indonesia sekitar 170 juta hektare—lahan dikuasai korporasi, baik milik negara maupun swasta.
Penguasaan tanah, demikian AGRA, berdampak terhadap 14 juta petani yang rata-rata hanya punya lahan 0,5 hektare. Tergusur, dan akhirnya kehilangan mata pencaharian.
“Monopoli tanah,” demikian AGRA, “Menyebabkan petani dan buruh tani kehilangan sandaran hidupnya.”
Pak Jokowi,
Ribuan, bahkan jutaan, petani yang terancam tanahnya hingga hari ini, mungkin berada jauh di luar Istana Merdeka. Tetapi kisah Udam Muhtadin atau Suharmi, bukan tak mungkin, kian dekat di setiap sudut rumah mereka. Ini adalah soal tanah besar milik segelintir orang. Dan sekali lagi, ini juga soal ketidakadilan.
(asa)