Jakarta, CNN Indonesia -- Wayan Mirna Salihin mendadak kejang dan tak sadarkan diri. Dia sempat mengeluhkan rasa kopi dengan mengatakan ‘
it’s awful’ kepada kedua teman yang tengah bersamanya, Hanie Juwita Boon dan Jessica Kumala Wongso, 6 Januari 2016.
Dokter Rumah Sakit (RS) Abdi Waluyo menyatakan, Mirna meninggal sejak perjalanan dari mall Grand Indonesia menuju rumah sakit. Keluarga terkejut dengan meninggalnya Mirna yang begitu cepat.
Suami Mirna, Arief Soemarko, yakin kondisi Mirna sehat dan baik-baik saja sebelum pergi ke Kafe Olivier.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dokter RS Abdi Waluyo yang menangani Mirna, Ardianto, mengaku sempat menawari keluarga korban untuk melakukan autopsi pada Mirna. Namun keluarga yang diwakili ayah Mirna, Darmawan Salihin, saat itu menolak.
“Saya sudah sampaikan ke keluarga korban, kalau memang merasa janggal bisa kami rujuk ke RS lain. RS kami tidak memadai untuk autopsi,” ujar Ardianto saat bersaksi dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Agustus lalu.
Saat itu keluarga Mirna hanya meminta dokter mengambil cairan lambung dalam tubuh Mirna. Permintaan ini muncul setelah ayah korban merasa anaknya telah diracun.
Ardianto awalnya tak mengetahui penyebab pasti kematian Mirna. Saat itu dia hanya menyebutkan, berbagai kemungkinan yang membuat Mirna mendadak meninggal seperti serangan jantung, pembuluh darah kepala pecah, dan alasan lain yang biasanya terjadi.
“Saya tawarkan CT Scan karena saya pernah tangani pasien dengan kondisi pembuluh darah pecah,” katanya.
Setelah melakukan CT Scan, ternyata hasilnya normal.
Darmawan kemudian berubah pikiran usai pihak Polda Metro Jaya menyelidiki kasus kematian anaknya. Komisaris Besar Krishna Murti yang saat itu menjabat Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya menyampaikan pada Darmawan, anaknya diduga meninggal tak wajar.
Krishna meminta izin pada Darmawan untuk melakukan autopsi karena dia meyakini ada tindak kriminal dalam kematian Mirna.
“Kalau lo enggak autopsi, enggak ada tindak kriminal,” ucap Darmawan, saat dihadirkan sebagai saksi dari JPU pada persidangan, Juli lalu.
Tim Kedokteran Polda Metro Jaya dan Tim Forensik Mabes Polri melakukan autopsi terhadap jasad Mirna di RS Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur, tiga hari setelah meninggal. Namun proses autopsi tidak dilakukan secara menyeluruh.
Tim forensik Rumah Sakit Polri Soekanto hanya mengambil sampel empedu, hati, dan lambung untuk mengetahui, apakah tubuh Mirna mengandung zat korosif jenis sianida atau tidak.
Ahli forensik RS Polri Soekanto, Slamet Purnomo, mengaku tidak tahu alasan penyidik kepolisian hanya meminta pihaknya mengambil sampel. Pernyataan itu dia sampaikan saat menjadi saksi dalam persidangan dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 3 Agustus lalu.
Slamet yang menjadi saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) heran lantaran permintaan tersebut baru disampaikan tiga hari setelah Mirna tewas. Bahkan saat sampel diambil, tubuh Mirna telah dalam kondisi diawetkan.
Dari pemeriksaan itu, terlihat bercak berwarna hitam pada lambung Mirna. “Harusnya lambung berwarna putih susu, tapi ini kehitaman terutama di bagian bawah,” tutur Slamet saat menjadi saksi di persidangan.
Warna hitam juga muncul pada bibir Mirna. Selain sampel lambung, tim dokter menyerahkan sampel hati, urine, dan empedu Mirna pada penyidik.
Hasilnya, ada zat korosif yang menyebabkan Mirna meninggal. Zat korosif dalam lambung Mirna ternyata adalah racun sianida dengan dosis 0,2 miligram per liter.
Sementara dalam gelas kopi yang diduga menewaskan Mirna ditemukan 297,6 miligram per liter racun sianida. Jumlah tersebut hampir dua kali lipat lebih besar dari dosis maksimal yang bisa membunuh manusia yakni 171,42 miligram per liter.
Dosis yang ditemukan dalam lambung berkurang karena Mirna diperiksa tiga hari setelah kejadian. Menurut Slamet, hal ini membuat sianida terserap dalam tubuh.
Berdasarkan informasi seorang perwira kepolisian yang pernah menyelidiki kasus kematian Mirna, permintaan untuk hanya mengambil sampel dilakukan lantaran polisi telah memiliki keyakinan perihal penyebab kematian Mirna ketika itu.
Keyakinan itu berawal dari hasil rekaman kamera circuit closed television (CCTV) yang memperlihatkan Mirna langsung mengibas mulut usai menyesap es kopi Vietnam.
Pengambilan sampel dilakukan hanya untuk mencocokan hasil pemeriksaan Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes Polri yang menemukan zat korosif jenis sianida dalam es kopi Vietnam yang disesap Mirna.
Aturan terkait autopsi tertuang dalam Pasal 133 dan Pasal 134 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Pasal 133 berbunyi, untuk kepentingan peradilan menangani korban, penyidik berwenang meminta keterangan ahli. Permintaan tersebut bisa secara tertulis dan menyebutkan pemeriksaan luka, mayat, atau bedah mayat.
Sementara Pasal 134 berbunyi, bila untuk pembuktian, bedah mayat tidak mungkin dihindari, maka penyidik wajib informasikan kepada keluarga dan wajib menerangkan sejelas-jelasnya maksud dan tujuan otopsi. Bila dua kali 24 jam tidak ada tanggapan dari keluarga, maka penyidik segera laksanakan otopsi.
Menurut anggota kepolisian yang tak ingin disebutkan namanya, proses autopsi tidak perlu dilaksanakan bila polisi telah meyakini penyebab kematian seseorang.
"Soal autopsi, itu tidak dilakukan kalau polisi bisa mendapatkan logika kematiannya," katanya.
Autopsi Kasus LainMenilik ke belakang, polemik terkait penyebab kematian seorang korban pembunuhan pernah terjadi pada mendiang Allya Siska Nadya. Setelah meninggal secara mendadak pada 7 Agustus 2015, keluarga mencurigai bahwa Allya merupakan korban malapraktik klinik Chiropractic First.
Keluarga melaporkan kecurigaan itu ke Polda Metro Jaya. Namun untuk membuktikan hal itu, polisi menyatakann perlu melakukan autopsi terhadap jenazah Allya.
Ketika itu, pihak keluarga Allya sempat menolak lantaran jenazah Allya sudah terlanjur dimakamkan. Namun pada 7 Januari 2016, keluarga Allya mengizinkan polisi melaksanakan autopsi dengan harapan penyebab kematian Allya dapat terbongkar.
Hasilnya, ditemukan pendarahan di tulang leher korban sehingga diduga merangsang saraf baroreseptor yang menyebabkan terjadi hipotensi. Polisi menetapkan dokter klinik Chiropractic First, Randall Cafferty, sebagai tersangka.
Polisi menyatakan, Randall melanggar cara pengobatan sehingga menimbulkan pendarahan hebat di leher korban yang berujung kematian.
Namun pelaksanaan autopsi ternyata tidak selamanya berhasil memberikan titik terang dalam penyelidikan kasus kematian seseorang.
Hal itu terjadi pada kasus kematian mahasiswa Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, Akseyna Ahad Dori. Meski sudah menjalani autopsi, polisi belum berhasil menemukan motif, pelaku, dan modus pembunuhan Akseyna hingga hari ini.
Akseyna ditemukan mengambang dalam kondisi tidak bernyawa di Danau Kenanga, Kampus UI, Depok, Jawa Barat, 26 Maret 2015.
Awalnya, setelah menjalani proses autopsi, polisi memastikan bahwa Akseyna tewas karena bunuh diri pada 1 April 2015.
Kepala Polres Kota Depok saat itu, Komisaris Besar Ahmad Subarkah mengatakan, dugaan bunuh diri diperkuat dengan penemuan sepucuk kertas di kamar kos Ace dengan tulisan tangan yang berbunyi 'Will not return for, please don't search for existence. My apologize for everything eternally.’
Namun pada akhir Mei 2015, Direktur Reserse Kriminal Umum Komisaris Besar Krishna Murti mengungkap temuan baru, Akseyna tewas karena dibunuh.
"Dari hasil gelar ulang, kami menduga mati tidak wajar tersebut bukan karena bunuh diri, karena ada luka fisik di wajah yang bersangkutan. Kalau dia bunuh diri harusnya (wajahnya) mulus, tidak ada luka fisik," kata Krisna saat itu.
Hal lain yang menguatkan kasus ini mengarah ke pembunuhan, menurut Krishna, jika Akseyna tenggelam dalam keadaan sadar tentu ia dapat berontak dan melepaskan tas berisi lima konblok yang memberatkan tubuhnya. Sebaliknya, jika ia tenggelam dalam keadaan tak sadar, batu itu menenggelamkannya.
Krishna menerangkan, hasil pemeriksaan grafolog Deborah Dewi atas tulisan di surat Akseyna menunjukkan, tulisan tersebut tidak 100 persen otentik goresan tangan Akseyna.
Namun penyebab kematian Akseyna masih menjadi misteri hingga hari ini. Pihak keluarga masih berharap agar polisi lekas menemukan pembunuh Akseyna.
Peraturan Kapolri Soal AutopsiDalam persidangan, kuasa hukum Jessica, Otto Hasibuan, menanyakan pada Slamet Purnomo prosedur autopsi yang dilakukan tim dokter pada jasad Mirna.
Otto berpendapat, mestinya dokter tak hanya memeriksa bagian lambung namun seluruh tubuh. Sebab tak menutup kemungkinan korban meninggal karena kerusakan jantung.
"Saya tidak periksa jantungnya. Lagipula yang kami lakukan bukan autopsi, hanya pengambilan sampel lambung. Tapi jantung mungkin juga mengalami kerusakan karena efek sianida," tutur Slamet.
Dari sejumlah kasus keracunan, autopsi paling mudah memang dilakukan dengan pemeriksaan lambung.
Slamet mengakui dalam standar pemeriksaan, tim dokter harusnya melakukan autopsi. Namun untuk kasus Mirna, autopsi tidak dilakukan karena permintaan penyidik dan kondisi saat itu yang tidak memungkinkan.
Otto menyatakan, pemeriksaan barang bukti kasus kopi beracun melanggar Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 10 Tahun 2009 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik dan Barang Bukti pada Laboratorium Forensik.
Pasal 58 Perkap itu menyebutkan, pemeriksaan barang bukti keracunan mesti memenuhi pemeriksaan lambung beserta isinya, ginjal, jantung, jaringan lemak bawah perut, dan otak dengan masing-masing jumlah sampel 100 gram.
Penyidik juga mesti memeriksa sampel cairan tubuh berupa urine 25 mililiter, darah 10 mililiter, sisa makanan, minuman, obat-obatan, peralatan seperti piring, gelas, sendok atau garpu, alat suntik, dan barang lain yang terkait kasus.
Dalam peraturan tersebut dijelaskan, pengambilan sampel organ tubuh dan cairan tubuh korban dilakukan dengan autopsi oleh dokter.
Otto meminta agar tim dokter melakukan autopsi ulang untuk menentukan racun sianida pada jasad Mirna. Namun Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan, autopsi secara menyeluruh tak wajib dilakukan.
Dalam kasus Mirna, dokter ahli forensik telah menemukan zat korosif yang ada dalam lambung, sehingga tak perlu lagi dilakukan autopsi secara menyeluruh pada bagian tubuh lain. Proses autopsi ulang juga dinilai tak perlu lagi dilakukan.
Ahli patologi forensik Universitas Indonesia Djaja Surya Atmadja menyebutkan, autopsi ulang pada Mirna tak efektif karena jasadnya sudah lama dikubur. Banyak faktor yang mendukung atau mempersulit proses autopsi seperti kondisi tanah hingga kadar sianida dalam tubuh Mirna.
(rdk)