Jakarta, CNN Indonesia -- Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menyatakan tidak menerima
fee dari proyek pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektroik (e-KTP) di Kemendagri tahun 2011-2012. Agus menyebut tudingan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin bahwa dirinya menerima aliran dana korupsi proyek e-KTP adalah fitnah.
Hal itu diungkapkannya usai diperiksa selama delapan jam lebih sebagai saksi untuk dua tersangka, yaitu mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri, Irman dan mantan Pejabat Pembuat Komitmen proyek e-KTP di Kemendagri, Sugiharto.
"Pernyataan Nazar bahwa saya menerima gratifikasi adalah fitnah dan bohong besar. Saya ingin dia cepat sadar. Dia terpidana, di dalam penjara, tidak kredibel, dan jangan meneruskan ucapan fitnahnya." ujar Agus di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Selasa (2/11).
Agus menjelaskan, selaku mantan Menteri Keuangan periode 2010-2013, dirinya hanya bertindak sebagai pihak yang menyetujui anggaran yang diajukan oleh Kemendagri. Posisi Kemenkeu itu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam aturan itu disebutkan bahwa Kuasa Pengguna Anggaran atas keuangan negara bukanlah Kemenkeu, malainkan Presiden. Kemenkeu dalam peraturan itu, kata dia, berperan membantu Presiden mengelola penggunaan anggaran.
Selain itu, ia juga menjelaskan, dalam setiap pengajuan penganggaran, Kemenkeu bertugas melakukan analisa anggaran. Ia menyebut, proses teknis terkait pelaksanaan proyek dikembalikan kepada Kementerian terkait selaku pengguna anggaran.
"Kemenkeu dalam sistem anggaran lebih bertanggung jawab kalau nanti menerima permintaan penganggaran, melakukan pengujian, apakah anggarannya ada, apakah uangnya ada, apakah pencatatannya ada, apakah dalam pengurusan permintaan penganggarannya sudah betul," ujarnya.
Sistem Multiyears e-KTPAgus menyatakan dirinya berada di balik penerapan sistem tahun jamak atau
multiyears dalam proyek e-KTP. Ia menilai, penerapan sistem itu lantaran proyek e-KTP dilakukan lebih dari satu tahun. Penerapan sistem itu juga berkaitan dengan kualitas dari proyek.
Namun, Agus menyebut, sistem
multiyears yang diterapkan dalam proyek e-KTP adalah untuk kontrak pelaksanaan, bukan penganggaran. Oleh karena itu, menurut Agus, tidak ada yang salah dalam sistem
multiyears yang ia terbitkan.
"Jangan negatif terhadap
multiyears contract nanti orang akan takut, padahal pembangunan Indonesia butuh
multiyears contract," ujar Agus.
Dalam kesempatan itu ia juga menegaskan tidak ada penolakan penerapan sistem
multiyerars oleh mantan Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Pasalnya, ia mengklaim, tidak ada dokumen resmi terkait dengan penolakan Sri saat ia menjabat sebagai Menkeu.
Ia juga menegaskan, dirinya orang pertama yang menolak sistem
multiyeras yang diajukan oleh Kemendagri. Ia menyebut, kala itu Kemendagri mengajukan sistem
multiyears untuk anggaran.
"Saya katakan di dalam
file tidak ada penolakan dari Sri Mulyani. Jadi saya tegaskan mungkin ada pembahasan atau diskusi, tapi kalau mengatakan
multiyears pertama kali ditolak oleh saya sebagai Menkeu pada 13 Desember 2010," ujarnya.
Agus menyatakan akan kooperatif membantu KPK menyelesaikan kasus tersebut. Ia yakin dirinya telah bertindak sesuai aturan yang berlaku dan tidak menerima
fee dari korupsi e-KTP.
"Saya dukung penuh kegiatan penegakan hukum e-KTP. Saya adalah orang yang bisa dipercaya, jujur, dan punya integritas. Jadi orang tahu siapa saya dan saya akan jaga," ujarnya.
Dalam perkara e-KTP, KPK telah menetapkan dua tersangka, yaitu Irman dan Sugiharto. Mereka disangka menyalahgunakan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri atau pihak tertentu yang menyebabkan kerugian negara.
Proyek pengadaan e-KTP itu memakai uang negara sebesar Rp6 triliun. Berdasarkan hitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atas penyelidikan KPK, terdapat dugaan korupsi sekitar Rp2 triliun dalam proyek tersebut.
(wis)