KPK Sebut Penegak Hukum Enggan Cabut Usaha Korporasi

Priska Sari Pratiwi | CNN Indonesia
Selasa, 15 Nov 2016 16:21 WIB
Wakil Ketua KPK Laode Syarief menyatakan KUHAP tidak mengatur rincian penjeratan pidana terhadap korporasi sehingga penegak hukum enggan menerapkan hukuman.
Wakil Ketua KPK Laode Syarief menyatakan KUHAP selama ini menjadi dasar keraguan penegak hukum untuk mempidanakan perusahaan dalam perkara korupsi. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menyebut aparat penegak hukum masih ragu menjerat korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Hal itu, sambungnya, membuat penegak hukum tak menerapkan hukum kepada entitas hukum tersebut, macam pencabutan izin usaha.

Tidak rincinya aturan pemidanaan terhadap korporasi dalam KUHAP disebut Laode sebagai alasan keragu-raguan tersebut. Padahal, kata dia, penyidik sebenarnya bisa mengumpulkan barang bukti seperti surat dan transaksi keuangan untuk menjerat perusahaan.

"Ketentuan pemidanaan korporasi hanya disebutkan dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Tapi operasionalnya di KUHAP belum ada. Itu yang membuat ragu," ujar Syarif di Jakarta, Selasa (15/11).
Syarif menuturkan penindakan pidana korupsi selama ini terhenti di level petinggi korporasi. Ia menyayangkan penegak hukum enggan menjerat perusahaan dengan ancaman sanksi denda maupun pencabutan izin usaha.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Laode berharap Mahkamah Agung segera menerbitkan aturan main tentang pidana korporasi. Menurutnya, peraturan itu dapat menjadi solusi sementara.

"Kami lihat banyak fakta di lapangan. Oleh karena itu KPK, Kejaksaan dan MA akan bersama-sama membuat Perma itu," katanya.
Ditemui pada kesempatan yang sama, hakim agung Artidjo Alkostar berkata, pemidanaan korporasi terhambat surat dakwaan yang harus mencantumkan identitas berupa nama, usia, jenis kelamin, hingga agama terdakwa.

Identitas tersebut tidak dimiliki perusahaan. "Usia mungkin bisa diisi beradsarkan tahun berdiri korporasi. Tapi kalau jenis kelamin dan agama, mau diisi apa," tuturnya.

Lebih dari itu, Artidjo menyebut Perma pemidanaan korporasi ini tinggal menunggu persetujuan dari Ketua MA Hatta Ali. Ia berkata draf Perma itu telah selesai dirancang.
Pusat Penelitian dan Pengembangan MA mencatat, hanya terdapat sedikit perkara korupsi yang memidanakan perusahaan. Satu dari sekian kasus itu adalah perkara yang melibatkan PT Giri Jaladi Wana (GJW).

Pada 2010, Pengadilan Negeri Banjarmasin menjatuhkan pidana denda sebesar Rp1,3 miliar dan pidana tambahan berupa penutupan sementara PT GJW selama enam bulan.

Majelis hakim ketika itu berpendapat jika korupsi dilakukan pegawai yang mempunyai hak memerintah bawahan dan dilakukan untuk kepentingan korporasi, maka kejahatan itu dapat dibebankan kepada perusahaan.

Tak hanya korporasi, Direktur Utama PT GJW yang berinisial SW saat itu juga menjadi pesakitan pada perkara yang sama. (abm/asa)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER