Jakarta, CNN Indonesia -- Penetapan Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama bukanlah akhir dari perjalanan proses hukum sang calon gubernur petahana.
Ada beberapa kemungkinan skenario di balik keputusan polisi menjeratnya dalam kasus ini. Selain berusaha mengulas apa yang menjadi penyebab di balik penetapan tersangka, CNNIndonesia.com juga mencoba menyajikan beberapa kemungkinan yang bisa terjadi setelahnya.
Kronologi jeratan kasus dugaan penistaan agama bermula pada dua jilid demonstrasi yang mendesak polisi agar mempercepat proses hukum pria yang akrab disapa Ahok itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Demonstrasi pertama yang diikuti ratusan orang dipusatkan di kantor Bareskrim Polri, Gambir, Jakarta (14/10). Aksi berjalan damai, hanya ada sedikit kerusakan pada taman kota karena terinjak-injak oleh massa.
Sementara mobilisasi massa kedua kalinya diikuti jumlah peserta yang lebih besar, menyedot perserta aksi hingga puluhan ribu orang. Meski awalnya berjalan mulus, aksi provokasi terjadi pada sore hari dan berujung ricuh ketika petang berganti malam, di sekitar Istana Negara.
Jumlah massa itu tentu tidak bisa dianggap remeh. Mereka boleh dibilang berhasil menciptakan suasana mencekam dengan intensitas ketegangan yang terbilang tinggi.
Pemerintah merespons dengan janji memberikan kepastian proses hukum dalam rentang dua pekan. Presiden Joko Widodo, dengan tekanan dari segala lini, akhirnya meminta polisi untuk melakukan gelar perkara secara terbuka.
Hal ini menunjukkan bagaimana aksi tersebut sebenarnya berdampak luas, meski pemerintah menunjukkan tanggapan relatif dingin.
Penetapan TersangkaTak bisa dimungkiri, tekanan publik yang tercipta di balik dimonstrasi besar-besaran itu punya pengaruh besar dalam penetapan Ahok sebagai tersangka. Bukan dalam artian polisi tertekan oleh tuntutan masyarakat, tapi lebih kepada untuk menyajikan proses hukum yang terbuka, sebagaimana diharapkan oleh Presiden.
Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian dalam konferensi pers secara gamblang menyatakan bahwa telah terjadi silang pendapat dari kalangan penyelidik dalam menanggapi dugaan tindak pidana dalam kasus ini.
"Ada yang mengatakan ini pidana, ada yang mengatakan tidak. Namun sebagian besar didominasi oleh yang mengatakan itu adalah pidana. Tapi catatan di sini adalah, tidak bulat perbedaan ini. Oleh karena itu, mereka bersepakat untuk mengajukan dan menyelesaikan perkara ini di peradilan yang lebih terbuka," ujar Tito.
Dalam arti lain, penetapan tersangka bukan didasari keyakinan penuh jajaran penyelidik, melainkan lebih kepada kompleksitas kasus ini sendiri.
"Kenapa, karena kita ingin gelar perkara itu, karena Bapak Presiden minta, gelar perkara dilakukan terbuka, live," kata Tito.
Berhubung gelar perkara secara terbuka tidak dimungkinkan karena bertentangan dengan sifat dasarnya yang rahasia, maka penyelidik sepakat untuk menyelesaikannya di peradilan.
Implikasi dari pernyataan Tito adalah penetapan tersangka dilakukan untuk memenuhi harapan Jokowi untuk membuka terang kasus ini, alih-alih didasari keyakinan bahwa Ahok melakukan tindak pidana.
Tito memastikan penyelidik telah bekerja secara objektif dan profesional. Meski tidak didukung suara bulat, perpecahan di kalangan penyelidik memang didominasi oleh pendapat yang menyebut telah terjadi tindak pidana dalam kasus ini.
Bagaimanapun, pernyataan Tito secara keseluruhan bermakna ganda. Dia mengatakan penyelidik bekerja berdasarkan fakta-fakta hukum dalam menetapkan Ahok sebagai tersangka. Namun, di saat yang sama, dia juga mengatakan penyelidik terpecah sehingga sepakat untuk membawanya ke ranah peradilan.
Yang perlu digarisbawahi di sini adalah sebab-akibat, di mana telah terjadi "perbedaan tajam" sebagai sebab yang mengakibatkan para penyelidik "bersepakat untuk mengajukan dan menyelesaikan perkara ini di peradilan yang lebih terbuka."
PraperadilanTentunya hal ini harus dilihat secara objektif dan tidak bisa ditafsirkan sendiri. Kebenarannya baru dapat dinilai betul lewat rangkaian peristiwa yang terjadi setelah penetapan tersangka.
Jalan keluar Ahok dari pusaran kasus bisa saja dicapai lewat langkah praperadilan. Penetapan tersangka harus didasari setidaknya dua alat bukti yang cukup.
"Perbedaan tajam" pada pendapat saksi ahli, bahkan pada penyelidik sendiri, bisa dimanfaatkan Ahok untuk mencari celah menggugat status tersangkanya. Terlebih, pihak terlapor juga turut hadir dalam proses gelar perkara terbuka terbatas, sehari sebelumnya.
Ahok setidaknya bisa mempertanyakan, apakah sudah ada bukti yang cukup untuk menetapkannya sebagai tersangka. Pengacara Ahok yang menghadiri gelar perkara, Sirra Prayuna, pun tentunya bisa melihat apakah ada celah dari bukti-bukti yang ada.
Bukti-bukti itu tidak secara detail diketahui khalayak karena gelar perkara hanya dihadiri pihak terlapor, pelapor, penyelidik dan pengawas. Begitu pula perbedaan yang dimaksud oleh Tito.
Yang diketahui publik, setidaknya ada tiga alat bukti yakni video ucapan Ahok menyitir Surat Al Maidah ayat 51, keterangan saksi dan keterangan saksi ahli. Namun, dalam hal ini pendapat saksi dan saksi ahli masih terpecah.
Apakah perbedaan itu bisa dijadikan sebagai celah untuk menggugat? Terlepas dari itu, Sirra telah menegaskan pihaknya tidak akan menempuh langkah praperadilan.
Jika dan hanya jika, dia berubah pikiran dan mengalayangkan gugatan, sang petahana setidaknya punya kesempatan untuk lepas dari jeratan kasus ini, meski belum dapat dipastikan.
Perubahan lazim terjadi, terutama dalam keadaan genting. Karena itu, gugatan praperadilan tetap dipertimbangkan sebagai salah satu skenario yang mungkin terjadi pascapenetapan tersangka ini.
PenuntutanSebelum memasuki ranah peradilan, penyidik mesti terus bekerja melengkapi berkas perkara untuk diajukan ke jaksa penuntut umum. Proses ini langsung berjalan seketika Ahok ditetapkan sebagai tersangka.
Polisi langsung memeriksa saksi-saksi yang sebelumnya baru dimintai keterangan dalam konteks penyelidikan. Pemeriksaan lanjutan diperlukan karena untuk melengkapi berkas perkara diperlukan berita acara pemeriksaan yang bersifat pro justicia atau berkekuatan hukum.
Sebuah perkara baru bisa dilanjutkan ke persidangan jika jaksa penuntut umum telah menyatakan berkas lengkap. Dalam artian, berkas tersebut sudah layak untuk disidangkan, mempunyai dasar argumentasi hukum yang kuat dan dilengkapi bukti-bukti yang cukup.
Tak jarang, sebuah perkara bolak-balik antara penyidik dan jaksa karena tidak kunjung dinyatakan lengkap. Kembali pada perbedaan di antara penyelidik, saksi dan saksi ahli, bisa jadi proses pelengkapan berkas ini menjadi alot.
Dengan demikian, dua skenario bisa terjadi menjelang tahap penuntutan ini. Pertama, kasus tidak bisa dilanjutkan ke tahap persidangan karena berkas perkara tidak lengkap; kedua, kasus dilanjutkan ke persidangan berkat kerja keras penyidik.
Sesuai dengan keinginan Tito, kasus berakhir di meja hijau. Ahok diadili secara terbuka dan disaksikan oleh masyarakat seantero Indonesia seperti kasus pembunuhan berencana oleh Jessica Kumolo Wongso.
PeradilanSampai di tahap ini, semestinya jaksa sudah yakin betul Ahok telah melakukan perbuatan melanggar hukum. Argumentasi hukum yang sudah matang dipersiapkan dijelaskan di hadapan hakim, didukung saksi-saksi dan saksi ahli yang memberatkan terdakwa.
Ahok pun punya kesempatan yang sama, untuk membela diri, menghadirikan saksi dan ahli yang meringankan. Perdebatan sangat mungkin terjadi, dan masyarakat bisa menilai apakah terdakwa benar-benar bersalah, atau, sebagaimana diyakini sebagian pihak, hanya korban politik.
Walau demikian, penilaian itu tentu tidak akan berpengaruh apa-apa. Penentu nasib Ahok adalah hakim.
Skenario yang mungkin terjadi di tahap ini adalah Ahok dinyatakan terbukti bersalah. Masyarakat yang menentangnya bisa bernafas lega, begitu pula pemerintah, karena tidak akan ada lagi pergerakan massa yang mengancam stabilitas negara.
Meski banyak juga masyarakat yang tetap mendukung Ahok, sejauh ini, tidak ada gerakan massa yang memprotes penetapan tersangka sehingga tampak kecil pula akan terjadi dinamika akibat vonis bersalah di pengadilan. Hal ini bisa saja terjadi, tapi tidak masif.
Skenario selanjutnya adalah Ahok dinyatakan tidak terbukti dan bebas. Kemungkinan protes masyarakat yang tidak puas akan putusan ini bisa jadi sangat tinggi.
Namun, dalam hal ini polisi setidaknya bisa bernafas lega karena perkara tidak kandas di tangannya. Bola panas ada di pengadilan yang memutus kasus tersebut.
Dengan demikian, Korps Bhayangkara bisa lebih leluasa untuk menjaga keamanan pascaputusan, jika dan hanya jika gejolak masyarakat kembali terjadi.
(gil)