Jakarta, CNN Indonesia -- Pakar hukum tata negara Refly Harun menyatakan Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 yang menjadi dasar hukum bagi pemerintah dalam menangkapi para pengguna atribut palu-arit, menyita buku-buku yang dianggap berhaluan kiri, dan membubarkan berbagai diskusi terkait peristiwa 1965, sesungguhnya bertentangan dengan konstitusi yang menjamin kebebasan berpikir dan berekspresi tiap warga negara Indonesia.
Oleh sebab itu, menurut Refly, Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 itu mestinya dicabut karena berlawanan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara Republik Indonesia.
“Seharusnya kalau mau, Tap MPRS itu ditinjau dan dicabut, barulah tidak ada dasar hukum lagi untuk melarang warga berpendapat,” kata Refly kepada CNNIndonesia.com di Jakarta, Jumat (13/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 itu ialah tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, dan larangan menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme.
Di antara ketiga butir cakupan larangan yang termuat dalam Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tersebut, poin ketigalah yang menjadi ganjalan utama bagi kebebasan berpendapat warga negara Indonesia, yakni terkait ajaran komunisme.
Komunisme ialah paham antikapitalisme yang memperjuangkan kesejahteraan ekonomi. Ideologi ini menentang kepemilikan akumulasi modal oleh individu yang memunculkan sistem kelas, yakni kelas borjuis sebagai kaum pemilik modal serta kekuasaan, dan kelas proletar sebagai kaum pekerja.
Kelas-kelas tersebut, menurut komunis, memunculkan kesenjangan kelas dan ketidakadilan bagi kaum proletar. Mereka berpandangan, kekayaan atau modal sejatinya milik rakyat dan oleh karenanya seluruh alat produksi harus dikuasai negara demi kemakmuran rakyat secara merata.
Menganut paham komunisme tersebut, beradasarkan Tap MPRS Nomor XXV Tahun 1966, dengan demikian terlarang di negeri ini. Di sisi lain, kata Refly, Pasal 28 UUD 1945 mengatur bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat.
Pun sesuai prinsip hak asasi manusia, ujar Refly, tiap orang berhak meyakini ajaran dan paham apapun.
Selain itu, Refly ragu isu kebangkitan komunisme yang saat ini berembus di tengah masyarakat Indonesia, benar-benar nyata terjadi. Namun semua itu jadi suram lantaran kebebasan berpikir rakyat terkungkung dalam batasan Tap MPRS XXV/1966 tersebut.
“Secara hukum positif, Tap MPRS itu masih berlaku. Sasalahnya, apa betul-betul serius ancaman komunisme di era terbuka begini? Apa cuma sekadar gaya aparat,” kata Refly.
Cabut Tap MPRSRefly menyatakan ada dua kemungkinan untuk mencabut Tap MPRS XXV/1966 yang melaran ajaran komunisme di Indonesia, yakni lewat Majelis Permusyawaratan Rakyat selaku lembaga yang mengeluarkan kebijakan tersebut, atau via Mahkamah Konstitusi.
Secara teoritis, menurut Refly, pencabutan bisa dilakukan di MK lewat pengajuan gugatan atau
judicial review, sebab materi Tap MPRS tersebut bertentangan dengan konstitusi.
“Saya kira tak ada halangan bagi MK untuk menguji Tap MPR kalau Tap itu bertentangan dengan konstitusi,” ujar Refly.
Meski demikian, kata dia, komunisme di Indonesia bukan semata persoalan di ranah hukum. Tidak cukup hanya pendekatan konstitusional, sebab isu tersebut menyangkut persoalan psikologi politik di Indonesia.
Senada dengan Refly, Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi juga menilai Tap MPRS XXV/1966 sudah seharusnya dicabut lantaran bertentangan dengan konstitusi. Apalagi, kata Hendardi, aturan tersebut tidak sejalan lagi dengan semangat reformasi dan iklim demokrasi di Indonesia.
“Seharusnya memang dicabut. Gus Dur pernah mengusulkan pencabutan itu, tapi ditolak oleh MPR/DPR. Itu dinamika politik,” kata Hendardi.
Ia mengatakan meski Tap MPRS XXV/1966 masih berlaku hingga kini, banyak kebijakan pemerintah yang sesungguhnya menunjukkan pengakuan atas kekeliruan negara di masa lalu, khususnya menyangkut kehidupan korban tragedi 1965.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu misalnya mengatur bahwa eks tahanan politik 1965 dapat memilih dalam Pemilu. Selain itu, pada tahun 2004 pernah dilakukan
judicial review atas Pasal 60 huruf G UU Nomor 12 Tahun 2003 di mana hasilnya korban tragedi 1965 harus diperlakukan sama dengan warga negara Indonesia lain tanpa diskriminasi.
Secara terpisah, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Alghiffari Aqsa mengatakan pihaknya akan mengajukan
judicial review atas Tap MPRS XXV/1966 jika ada pengaduan resmi dari masyarakat.
“Kami melakukan advokasi berdasarkan pengaduan masyarakat, dan selama ini belum ada. Memang sudah seharusnya dievaluasi Tap MPRS tersebut,” kata Alghiffari.
Apapun, ujar Alghiffari, Tap MPRS XXV/1966 sudah pernah dikaji ulang dalam Tap MPR Nomor I Tahun 2003 dengan kesimpulan: Tap MPRS XXV/1966 masih berlaku dengan mengedepankan prinsip hukum, hak asasi manusia, dan demokrasi. Prinsip-prinsip itulah yang diyakini para pegiat HAM tak dipenuhi dalam penerapan Tap MPRS tersebut.
[Gambas:Video CNN] (agk)