Jakarta, CNN Indonesia -- Buni Yani merasa penetapannya sebagai tersangka kasus dugaan penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) merupakan sebuah bentuk kriminalisasi.
Menurut dia, langkahnya mengunggah video pernyataan Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terkait Surat Al Maidah ayat 51 ke akun Facebooknya pada 6 Oktober 2016 telah diseret ke ranah politik.
"Saya merasa ini kriminalisasi. Jadi ditarik tarik terus ke politik. Padahal, saya dosen biasa, dulu wartawan," kata Buni Yani setelah selesai menyelesaikan pemeriksaannya sebagai tersangka di Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Kamis (24/11).
Ia pun menyatakan sangat kecewa ditetapkan sebagai tersangka. Menurutnya, polisi tidak memiliki alasan substansial untuk meningkatkan statusnya dari saksi sebagai tersangka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, saat ditanya terkait tiga kalimat dalam postingan Facebooknya yang menjadi alasan polisi menetapkannya sebagai tersangka, Buni Yani menolak berkomentar.
"Itu sudah substansial, nanti saja saat konferensi pers. Kami khawatir salah dalam menjelaskannya," ujarnya.
Meski begitu, Buni Yani menghargai seluruh langkah hukum yang telah diambil penyidik kepolisian. Ia berharap, penyidik dapat menegakkan keadilan yang merupakan hak setiap warga negara.
"Saya sebagai warga negara harus sama derajat dan kedudukan dengan warga negara yang lain," tutur Buni Yani.
Polisi menetapkan Buni Yani sebagai tersangka kasus dugaan penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA, Rabu (23/4).
Buni melanggar Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat 2 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena dengan sengaja atau tanpa hak menyebarkan informasi menyesatkan.
Pasal 28 ayat 2 UU ITE berbunyi, "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)".
Sedangkan, Pasal 45 ayat 2 UU ITE menjelaskan, setiap orang yang memenuhi unsur dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
(yul)