Jakarta, CNN Indonesia -- Calon gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ikut berkomentar dan setuju agar Komite Nobel mencabut nobel perdamaian yang diberikan kepada penasihat negara Myanmar sekaligus tokoh demokrasi, Aung San Suu Kyi.
Suu Kyi dinilai tidak mengambil tindakan atas kejahatan kemanusiaan yang masih terus terjadi terhadap etnis minoritas Muslim Rohingya di Rakhine, Myanmar. "Lebih baik dicabut saja [gelar nobel perdamaian],” ujar Anies dalam keterangannya, Sabtu (26/11).
Menurut mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini, sebagai penerima nobel, Suu Kyi seharusnya dapat memperjuangkan nasib warga etnis Rohingya dan perdamaian di Myanmar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan membiarkan kekerasan terjadi terhadap etnis Rohingya, Anies mempertanyakan komitmen Suu Kyi dalam menjaga perdamaian. "Dia harus bertindak tegas," kata Anies.
Desakan untuk mencabut gelar nobel perdamaian juga telah bergema di situs
change.org sejak delapan bulan lalu. Diprakarsai Emerson Yuntho dan sejumlah aktivis, petisi ini telah ditandatangani sebanyak 184.096 netizen.
Suu Kyi menerima nobel perdamaian pada 1991, atas perjuangannya dalam memajukan demokrasi di Myanmar tanpa menggunakan kekerasan dalam menentang kekuasaan rezim militer.
Sikap bungkam Suu Kyi, menurut Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Pelita Harapan, Aleksius Jemadu, muncul karena tokoh demokrasi tersebut takut kehilangan popularitas.
Pasalnya, Aleksius berujar, pandangan warga Myanmar secara keseluruhan terhadap etnis Muslim Rohingya tidak begitu positif. Hal ini menjadi salah satu penghambat keinginan politik pemerintah Myanmar, khususnya Suu Kyi untuk mau benar-benar membela Rohingya yang disebut PBB sebagai etnis paling tertindas di dunia.
Sebenarnya, sejak menjabat, Suu Kyi telah membentuk komisi pemberantas pelanggaran hak asasi manusia di Rakhine, yang diketuai mantan Sekretaris PBB Kofi Annan.
Namun pada September lalu, warga Rakhine menolak kunjungan Annan yang dianggap sebagai perwakilan campur tangan asing dalam konflik di negara bagian itu.
Reuters melaporkan, setidaknya 86 warga tewas dan 30 ribu lainnya melarikan diri akibat serangkaian aksi kekerasan militer terhadap Rohingya sejak Oktober tahun ini.
Sementara laporan Human Rights Watch (HRW) menyebut, berdasarkan pengamatan citra satelit, sebanyak 1.250 rumah warga Rohingya di lima desa negara bagian Rakhine, Myanmar, rata dengan tanah akibat hancur terbakar atau ambruk karena serangan militer.
Menurut laporan PBB, terdapat 30 ribu orang yang terpaksa melarikan diri dari tempat tinggal mereka dan terlantar di dalam negeri akibat aksi kekerasan ini. Terdapat juga berbagai laporan media bahwa ratusan warga etnis Rohingya berupaya melarikan diri ke Bangladesh, namun juga ditolak oleh penjaga perbatasan.
(rsa/rel)