Jakarta, CNN Indonesia -- Polri didesak segera menelusuri dalang di balik penyandang dana aksi #411. Pengamat politik Boni Hargens menduga ada aktor politik maupun perusahaan asing yang sengaja mendanai aksi tersebut. Nama mantan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ikut disebut.
"Ada aktor yang memainkan rekayasa semua ini. Polisi harus melacak sumber dananya," ujar Boni dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta, Rabu (7/12).
Dalam diskusi itu, Boni secara terang-terangan menuding SBY sebagai aktor di balik pendanaan aksi tersebut. Menurut Boni, sumber dana itu berasal dari hasil korupsi orang-orang di sekitar masa kepemimpinan SBY selama dua periode.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebut saja kasus listrik mangkrak dan kasus Bank Century, dana yang dikorupsi ini akhirnya digunakan untuk membiayai kegiatan antipemerintah," katanya.
Oleh karena itu, Boni juga meminta Komisi Pemberantasan Korupsi segera menuntaskan kasus-kasus lama tersebut. Jika tidak, kasus korupsi lama akan merugikan dan menimbulkan permasalahan baru. Terlebih, kata Boni, pelaku korupsi di era SBY melibatkan menteri dan orang dekat presiden saat itu.
"Ini jadi pembelajaran agar kekuasaan tidak jadi momentum untuk memperkaya diri," ucapnya.
Boni sebelumnya dilaporkan ke polisi dengan tuduhan fitnah dan pencemaran nama baik SBY. Fitnah kepada SBY itu dinilai telah melecehkan kehormatan Partai Demokrat.
Boni dilaporkan ke polisi oleh Forum Komunikasi Kader Partai Demokrat Seluruh Indonesia. Pelaporan itu telah diterima oleh Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Metro Jaya dengan nomor: TBL/5928/XII/2016/PMJ/Dit.Reskrimsus.
Minim penindakan era SBYPakar hukum Petrus Selestinus menilai banyaknya kader partai politik yang melakukan korupsi di era SBY lantaran minim penindakan dari parpol itu sendiri. Menurutnya, pihak parpol hanya berharap dari KPK untuk menindak kadernya yang terlibat korupsi.
"Selama ini belum pernah ada pimpinan parpol yang melakukan penertiban internal pada kadernya yang korupsi," ucap Petrus.
Meski saat itu telah ada KPK, Petrus menilai, lembaga antikorupsi itu kewalahan menghentikan tindak pidana korupsi pejabat dari kader partai. Penindakan itu, menurutnya, hanya dilakukan setelah ada vonis dari pengadilan. Tak heran bila kasus-kasus korupsi itu kemudian tertunda dan tak jelas ujungnya.
"Padahal masih ada pelaku lain yang bersembunyi dan belum terungkap hingga kini," katanya.
(pmg/obs)