Jakarta, CNN Indonesia -- Suasana sepi terlihat dari bangunan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kemeriahan yang seharusnya terjadi di hari Natal, tak terlihat di bangunan berpagar biru itu.
Salah seorang jemaat GBKP Pasar Minggu, Penrad Siagian menunjukkan raut kekecewaan karena tak bisa merayakan Natal di gerejanya sendiri. Penrad dan jemaat lainnya, melaksanakan ibadah di Gelanggang Olahraga Remaja (GOR) Pasar Minggu yang berjarak satu kilometer dari lokasi GBKP Pasar Minggu.
"Kegiatan ibadah kami semua dipindahkan ke balai rakyat, yaitu GOR Pasar Minggu. Termasuk ibadah Natal juga dipindahkan ke sana, tak ada lagi kegiatan keagamaan di sini," jelas Penrad kepada CNNIndonesia.com, Minggu (25/12).
GOR Pasar Minggu menjadi tempat ibadah Natal yang disediakan pemerintah bagi jemaat GBKP Pasar Minggu. Gereja ini masih mengalami kendala perizinan sehingga belum dapat digunakan jemaatnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dikantongi GBKP Pasar Minggu bukanlah IMB Rumah Ibadah, namun IMB Rumah dan Kantor (Rukan).
Polemik ini pun berujung pada pelarangan ibadah di lokasi gereja, seperti dimuat di dalam Surat Imbauan Walikota Jakarta Selatan Nomor 887/-1.856.21 tertanggal 30 September 2016. Sehingga, kegiatan peribadatan jemaat GBKP Pasar Minggu dialihkan ke lokasi lain.
Penrad mengaku kecewa atas kondisi tersebut. Namun menurutnya, mungkin ini adalah jalan terbaik agar tak terjadi resistensi berkepanjangan di sekitar tempat ibadahnya.
"Kami mengikuti hukum yang berlaku saja. Kalau memang dipindahkan, kami bersedia saja. Meski sebetulnya kami ingin beribadah di fasilitas milik sendiri," tutur Penrad.
Ia sendiri berharap masalah perizinan ini cepat selesai agar tempat ibadahnya bisa digunakan lagi. Ia yakin, pemerintah masih punya itikad baik agar masalah perizinan ini cepat selesai.
"Kemarin kami minta agar proses perizinannya cepat diselesaikan. Kami ingin secepatnya bisa kembali beribadah di gereja sendiri," katanya.
Permasalahan izin GBKP Pasar Minggu melalui proses yang panjang. Muasalnya ketika pihak gereja mengajukan IMB Rumah Ibadah kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta pada 27 Oktober 2004. Namun, pada 14 Februari 2005, Sutiyoso yang menjabat Gubernur DKI Jakarta saat itu justru mengeluarkan IMB kantor bernomor 01439/IMB/2005.
Persoalan muncul ketika pengelola merenovasi bangunan GBKP Pasar Minggu pada Januari 2006. Sekelompok orang berunjuk rasa mendesak penutupan gereja. Jemaat GBKP pun dilarang menyelenggarakan kegiatan kerohanian.
Pertengahan 2010, umat GBKP Pasar Minggu kembali berusaha mendapatkan legitimasi bangunan gereja. Mereka mengajukan surat permohonan tempat beribadah kepada Gubernur DKI Jakarta. Namun, tiga gubernur DKI Jakarta selama enam tahun terakhir tidak menjawab surat permohonan tersebut.
Belakangan, Lurah Tanjung Barat Debby Novita menyebut jemaat GBKP Pasar Minggu bukanlah penduduk setempat. Debby mencatat, hanya 11 dari 105 jemaat gereja itu yang berdomisili di Tanjung Barat.
Fakta itu tidak sesuai dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 yang menyebutkan rumah ibadah harus menjadi ruang bagi setidaknya 90 umat yang tercatat sebagai penduduk setempat.