Jakarta, CNN Indonesia -- Persidangan 'tertutup' Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam perkara dugaan penistaan agama memunculkan kontroversi.
Komisi Yudisial (KY) mempertanyakan keputusan majelis hakim yang melarang petugas lembaga tersebut untuk merekam proses persidangan kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama.
KY yang memiliki kewenangan untuk mengawasi dugaan pelanggaran kode etik hakim baik di dalam proses persidangan maupun di luar persidangan juga mengherankan sikap majelis hakim yang semakin membatasi akses publik untuk menyaksikan persidangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Walaupun demikian, persidangan yang relatif tertutup —termasuk pelarangan petugas KY— itu, memang diputuskan oleh majelis hakim.
Pengamat hukum pidana dari Universitas Parahyangan Agustinus Pohan berpendapat keputusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara itu tak melanggar prinsip keterbukaan dan sudah sesuai aturan. Majelis hakim, kata dia, adalah pihak yang bertanggung jawab mengatur tata tertib persidangan.
Namun keinginan KY yang ingin mengetahui alasan di balik keputusan majelis hakim ihwal pelarangan perekaman persidangan, pun dapat dipahami. Dalam pandangan Agustinus, kalau proses persidangan direkam oleh aparat KY yang juga memang memiliki kewenangan untuk itu, maka tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan.
Artinya, KY tentu bisa mempertanggungjawabkan setiap tindakan yang dilakukan. KY juga tidak akan membuka begitu saja isi rekaman ke publik jika rekaman tersebut tidak memang tidak untuk konsumsi publik.
Dalam hal ini, KY sebagai lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya. Jadi, majelis hakim bisa memberi kesempatan KY untuk menjalankan fungsinya bisa dirasa perlu.
Pihak pengadilan pun bila merasa jalannya persidangan tidak perlu direkam maka KY tidak perlu merekam. “Apakah dalam menjalankan fungsi pengawasannya KY harus merekam?” ujar Agustinus dalam perbincangan dengan CNNIndonesia.com, Rabu (4/1).
Menurut Agustinus pihak KY tidak harus merekam karena dalam mengawasi bisa cukup dengan menyaksikan secara langsung seluruh proses persidangan. Ini sama dengan ketentuan majelis hakim yang tidak mengizinkan jalannya persidangan disiarkan ke masyarakat luas.
“Kalau disiarkan langsung dikhawatirkan bisa memunculkan pertentangan ke masyarakat,” ucap Agustinus.
Tak Saling Berhubungan
Alasan tersebut juga sejalan dengan alasan Wakil Humas PN Jakarta Utara Didik Wuryanto. Dia menuturkan pelarangan siaran langsung lantaran keterangan antara satu saksi dengan yang lainnya tidak boleh saling berhubungan.
Bagi Agustinus sidang bersifat terbuka untuk menjamin jalannya proses persidangan secara
fair. Namun masalah bisa muncul kalau keterbukaan justru berpotensi mengancam atau bahkan membahayakan saksi-saksi.
Misalnya pihak saksi berada dalam tekanan publik. Padahal seseorang dalam memberi kesaksian tidak boleh ada tekanan dari pihak manapun. Serupa dengan halnya majelis hakim dalam memutuskan suatu perkara terbebas dari intervensi.
Dalam situasi seperti sidang kemarin, langkah majelis hakim menjalankan sidang secara tertutup memang sepenuhnya ada di tangan majelis.
Kuasa penuh majelis hakim dalam mengatur dan mengendalikan persidangan —meski aturan itu membatasi akses masyarakat untuk menyaksikan proses peradilan— dikuatkan oleh Mahkamah Agung.
Kewenangan majelis hakim itu merupakan otoritas yang tak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Termasuk persoalan pelarangan merekam. “KY tidak berwenang merekam dan hanya mengatur perilaku hakim,” kata Juru Bicara Mahkamah Agung Suhadi.
Penegasan MA itu sesuai Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial bahwa Komisi Yudisial mempunyai wewenang menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Terlepas dari persoalan pelarangan merekam dan sidang tertutup, Agustinus memproyeksi vonis majelis hakim yang akan diucapkan setelah gelaran pemilihan kepala daerah pada 15 Februari.
Dia juga memastikan dijeratnya Ahok dalam kasus ini tentunya mempengaruhi persepsi warga Jakarta. “Merugikan buat Ahok dalam kaitan dengan Pilkada.”
(asa)