Jakarta, CNN Indonesia -- Markas Besar Polri akan menelusuri temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait aliran dana anggota Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) asal Indonesia Bahrun Naim melalui layanan keuangan berbasis teknologi atau
FinTech (
financial technology).
Langkah ini akan ditempuh polisi dengan menggandeng Bank Indonesia (BI). Polisi menelusuri aliran dana Bahrun karena diduga untuk mendanai sejumlah aksi teror yang terjadi pada 2016.
"Informasi PPATK harus didalami, kemudian dicek dengan informasi lainnya. Sekarang pengiriman uang itu tidak secara fisik melalui bank atau jasa pengiriman uang, tapi juga melalui dunia maya juga," kata Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Martinus Sitompul di Markas Besar Polri, Jakarta Selatan, Selasa (10/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
FinTech adalah istilah yang digunakan untuk menyebut suatu inovasi pembiayaan keuangan dengan memanfaatkan teknologi sebagai pendukungnya.
Ia menjelaskan, pendalaman temuan PPATK itu akan ditelusuri Polri dengan mencari informasi dari jaringan Bahrun Naim yang ada di Indonesia.
Bila ditemukan fakta yang sesuai dengan temuan PPATK tersebut, kata Martinus, Bahrun Naim dapat dijerat dengan Pasal 4 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Martinus menambahkan, terkait kerja sama yang akan dijalin dengan Bank Indonesia, Polri ingin memastikan pengiriman uang melalui layanan keuangan berbasis teknologi merupakan hal yang legal atau tidak.
"Ini fakta baru, Polri akan terus dalami informasi kemudian akan dikaitkan dengan fakta lain sehingga dapat dibuat satu rumusan tentang perbuatan melawan hukum aksi terorisme," tutur Martinus.
PPATK sebelumnya melacak adanya transaksi
FinTech yang dilakukan oleh Bahrun Naim, lewat sejumlah akun pembayaran online PayPal atau BitCoin untuk mendanai sejumlah aksi teror yang terjadi pada tahun lalu.
"Memang
FinTech itu sebetulnya tadinya bukan untuk melanggar hukum. Itu digunakan untuk bisnis yang biasa dan sehat, karena sifatnya yang cepat dan murah. Tapi kemudian ada pihak-pihak tertentu memanfaatkan sisi lain dari FinTech itu," ujar Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin dalam konferensi pers di kantornya, Senin (9/1).
Menyikapi temuan itu, Bank Indonesia menegaskan bahwa BitCoin bukan alat pembayaran resmi. Bahkan, mengacu pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, serta UU Nomor 23/1999, Bank Indonesia menyatakan BitCoin dan mata uang virtual lainnya bukan alat pembayaran sah di Indonesia.
"Pada prinsipnya, BI sudah mengeluarkan kebijakan terkait BitCoin pada Februari 2014 lalu yang menyatakan bahwa BitCoin bukan termasuk legal tender dan agar masyarakat berhati-hati," ujar Deputi Gubernur BI Sugeng.
(rel/rdk)